Anteur-Anteur Tradisi Pengikat Silaturahmi

Editor

Pruwanto

Sejumlah anak berbaris membawa obor dalam pawai malam Takbiran di Kawasan Matraman, Jakarta (07/08). Tempo/Dian Triyuli Handoko
Sejumlah anak berbaris membawa obor dalam pawai malam Takbiran di Kawasan Matraman, Jakarta (07/08). Tempo/Dian Triyuli Handoko

TEMPO.CO , Jakarta: Rantang-rantang berisi nasi, semur daging sapi, dan sambal kentang di jinjing anak-anak seusia sekolah dasar hingga SMP di Desa Cihambulu, Pabuaran, Kabuoaten Subang, Jawa Barat. Mereka sebagaian berjalan kaki, bersepeda ontel, tak sedikit juga yang pakai sepeda motor.

Mereka berseliweran menyusuri jalan desa yang gerinjulan dan tanpa dilapisi aspal, ada yang ke arah utara, timur, barat, dan selatan. Semua tergantung alamat yang akan dikunjunginya. Tapi, yang jelas mereka bertandang ke rumah sanak-saudaranya untuk menyampaikan rantang antarannya.

Begitulah cara orang desa merawat budaya leleuhur anteur-anteur atawa antaran makanan menjelang malam takbiran atau lebaran keesokan harinya. Barang yang diantarnya berupa menu makan ditambah jenis makanan kudapan dan buah-buahan.

Kenapa harus anak-anak? "Untuk menjaga tali silaturahmi keluarga sejak dini, agar mereka tak kehilangan jejak turunan orang tuanya," ujar Hasan Abdul Munir, Kepala Desa Cihambulu.

Anak-anak senang seusai mengantar makanan antarannya. Mereka biasanya mendapatkan "upah" dari saudara itu. "Alhamdulillah dapat hadiah lebaran," ujar Opik, anak SD yang disuruh menyampaikan antewur-anteur.

Ia tampak bungah karena mendapatkan hadiah lebaran lembaran Rp 10 ribuan dari uwaknya. "Nambah-nambah uang jajan dan buat beli petasan," tutur Opik sambil tertawa.

Tajudin, salah seorang mengaku tak bisa melepas budaya yang tumbuh dan mengakar sejak nenek moyang desanya ada. "Tradisi anteur-anteur sangat positif dan perlu terus silestarikan," ujarnya.

Meski pun modal yang dirogoh dari koceknya cukup dalam mengingat harga daging sapi yang nembus Rp 120 ribu per kilo gram dan sayur-sayuran serta sembako naik tinggi menjelang lebaran, itu tidak jadi masalah. "Yang penting, niat silaturahmi dan saling membahagiakan sesama saudara tetap berjalan," imbuhnya.

Nah, kalau sudah melaksanakan tradisi anteur-anteur Tajudin merasa plong dan bisa menyambut fajar pagi menyongsong Idul Fitri dengan tersenyum dan hati lega.

NANANG SUTISNA