Mencicipi Bubur Samin di Masjid Darussalam  

Editor

Nur Haryanto

Masyarakar mengantre untuk mendapatkan makanan khas Bulan Ramadhan, bubur samin di Masjid Darussalam, Jayengan, Solo, Minggu (29/7). TEMPO/Andry Prasetyo
Masyarakar mengantre untuk mendapatkan makanan khas Bulan Ramadhan, bubur samin di Masjid Darussalam, Jayengan, Solo, Minggu (29/7). TEMPO/Andry Prasetyo

TEMPO.CO, Jakarta - Setiap masjid punya acara khas pada bulan suci Ramadan. Ada yang dikenal karena menghiasi bulan suci itu dengan kegiatan keagamaan di luar yang rutin, seperti salat tarawih atau tadarus Al-Quran. Namun ada juga yang punya ciri khas tersendiri karena memiliki tradisi menyediakan menu makanan takjil khusus, misalnya Masjid Darussalam.

Masjid yang berada di Jalan Gatot Subroto Nomor 161 Jayengan, Kecamatan Serengan, Solo, ini punya tradisi menyediakan menu makanan takjil khusus berupa bubur samin, masakan khas dari daerah Banjar, Kalimantan Selatan. Pengurus masjid yang membuatnya, dan hasilnya dibagikan kepada masyarakat sekitar dan jemaah yang berbuka puasa di masjid.

Masyarakat Solo sudah cukup hafal tradisi tersebut. Saat Ramadan, ratusan warga tampak antre untuk menerima pembagian bubur samin setiap sore.

Ketua Yayasan Darussalam, Zamani, mengatakan warga di sekitar masjid tersebut memang keturunan pendatang dari Banjar. Mereka datang ke Kota Solo sekitar awal 1900-an. “Mereka datang untuk berdagang intan dan permata,” katanya. Yayasan Darussalam adalah pengelola Masjid Darussalam.

Saat itu mereka menjual hasil kerajinan dari daerah asalnya ke pusat-pusat perekonomian yang ada di Solo. Secara berombongan, mereka akhirnya tinggal di Kampung Jayengan, yang berada tak jauh dari Pasar Klewer.

Pada awalnya, sekitar 1911, keluarga pedagang Banjar itu membuat bubur samin untuk dinikmati sesama masyarakat asal Banjar. Saat itu, yang ada baru berupa langgar, bukan masjid. Pada 1965, langgar itu kemudian direnovasi menjadi masjid. Pembuatan bubur saat itu masih tetap untuk internal jemaah. Baru sekitar tahun 1985, bubur samin itu mulai dibagikan untuk umum, dan itu bertahan hingga saat ini.

Setiap harinya, selama Ramadan, pengurus Masjid Darussalam menyiapkan bubur samin sebanyak 800 porsi. Sebagian besar dibagikan kepada masyarakat untuk dibawa pulang. Sebagian lainnya dibagikan kepada jemaah salat magrib yang berbuka puasa di masjid.

Jumlah makanan yang dibagikan memang tidak sedikit. Mereka harus mengolah 40 kilogram beras untuk dibuat bubur samin sejak siang hari. Beras yang dibuat bubur tersebut diolah dengan dicampur daging serta susu sapi. Penggunaan berbagai bumbu, seperti kapulaga, daun seledri, daun bawang, bawang bombai, wortel, dan rempah-rempah, membuat aromanya cukup menggoda.

Tidak ketinggalan, mereka juga menambahkan minyak samin ke dalam masakan tersebut. Itu sebabnya, masakan yang hanya dihadirkan selama Ramadan tersebut dikenal dengan sebutan bubur samin. Minyak itu menyebabkan bubur tersebut memiliki warna kecokelatan. Proses pembuatan bubur ini memakan waktu hingga empat jam.

Menurut Zamani, dana yang dibutuhkan untuk membuat bubur samin itu diperoleh dari para donatur. “Dulunya, dana berasal dari para pengusaha permata asal Banjar yang tinggal di sekitar masjid,” katanya. Seiring berjalannya waktu, banyak para donatur dari luar yang ikut menanggung biaya pembuatan menu takjil itu.

Seorang warga Jayengan, Hendro Saputro, mengatakan santapan takjil bubur samin merupakan salah satu hal yang ditunggu-tunggu saat Ramadan tiba. Sebab, masakan itu tidak bisa ditemui di luar Ramadan. "Hampir tiap hari berbuka dengan bubur samin, tapi tidak pernah merasa bosan," katanya.

AHMAD RAFIQ