Ngabuburit Sambil Berburu Tikus  

Editor

Budi Riza

Ilustrasi Petani di Sawah. ANTARA/Oky Lukmansyah
Ilustrasi Petani di Sawah. ANTARA/Oky Lukmansyah

TEMPO.CO, Subang - Lokasi hamparan sawah Kampung Wates, Desa Binong, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada Ahad, 28 Juli 2013, mendadak riuh. Ratusan petani dilengkap dengan alat berburu beurit alias tikus berjejer di pematang sawah. Sebagian lainnya berhamburan nyemplung ke petakan sawah.

Mereka ada yang memasang emposan (alat penyemprot asap) ke dalam lubang pematang sawah yang ditengarai banyak dihuni tikus. Sebagian lainnya memasang jaring di pinggiran sawah untuk mengehentikan pelarian tikus.

Puluhan anjing yang menyertai mereka ramai mengonggong dan mencari mangsa tikus, yang berhamburan dari lubang peraduannya. Aksi berburu tikus atau populer disebut aksi gropyokan di kalangan petani Subang ini pun banyak menyita perhatian warga lainnya. Kegiatan ini biasanya dilakukan menyelingi waktu puasa atau biasa disebut ngabuburit

Para penonton berkumpul di sudut-sudat dan pematang sawah, lalu ramai-ramai menyemangati para pemburu tikus. "Ayo tangkap tikusnya," kata mereka berteriak-teriak.  Para pemburu tikus pun terlihat bersemangat mengejar buruannya. 

Iyos Rosyadi, anggota Kelompok Tani Mulus Desa Binong, mengatakan dalam sehari perburuan tikus yang dilakukan secara gropyokan ini bisa menangkap hingga ribuan ekor. "Minimal 5.000 ekor kami tangkap dalam sekali gropyokan," ujar Iyos.

Iyos dan ratusan petani lainnya bakal terus melakukan gropyokan sepanjang hama musuh nomor satu petani itu masih terus berkeliaran menggerayangi areal persawahan mereka. "Gropyokan adalah aksi gotong-royong yang spontan," tuturnya. 

Meski terlihat lelah, para petani yang melakukan gropyokan umumnya bisa bertahan puasa hingga waktu buka tiba. "Hitung-hitung ngabuburit." kata dia. Tapi, dalam aksi gropyokan yang akan terus digelar dalam satu pekan terakhir masa Ramadan ini, bakal lain dari biasanya.

Ini karena hasil buruan mereka yang biasanya dibuang begitu saja, saat ini, ada yang menghargainya. "Satu ekor tikus kami hargai Rp 1.500," kata Direktur Utama PT Pupuk Kujang Cikampek, Bambang Cahyono. "Ini sebagai reward kami terhadap jerih payah para petani."

Ia pun tak segan-segan ikut nyemplung berburu tikus. Bambang mengungkapkan, hama tikus jika dibiarkan akan berkembang biak secara cepat. Dalam satu periode pertumbuhannya, satu ekor tikus bisa beranak-pinak sampai 80 ekor.

"Akibatnya, sampai akhir Juli ini, tercatat 3.904 hektare di Jawa Barat habis diserang tikus," ujarnya. Sejumlah daerah yang areal tanaman padinya habis dijarah tikus itu seperti Kabupaten Subang, Karawang, Purwakarta, Indramayu, Cirebon, Kabupaten dan Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bogor.

Celakanya, Bambang menambahkan, untuk membasmi hama ini, petani belum dilengkapi dengan peralatan teknologi modern yang bisa melumatkannya secara sporadis. Alhasil, cara gropyokan masih digunakan. "Jangan sampai upaya mempertahankan dan meningkatan ketahanan pangan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, gagal gara-gara serangan tikus," kata Bambang.

Saking hebatnya aksi serangan tikus, tanaman padi dalam satu hektar bisa ludes dalam satu malam. "Petani benar-benar dibikin gigit jari," kata Iyos. Dan, jika ada tanaman yang tersisa, dalam satu hektare hanya bisa panen dua kuintal saja. Kerugian petani untuk biaya ongkos tanam gara-gara serangan tikus mencapai Rp 7 juta per hektare. Padahal, jika mulus dari serangan tikus, sawah di Binong, Subang, rata-rata bisa memproduksi gabah kering pungut 6,6 ton.

NANANG SUTISNA