Tradisi 'Kacang Pengantar Jodoh' Bulan Ramadan  

Editor

Nur Haryanto

TEMPO/ Nita Dian
TEMPO/ Nita Dian

TEMPO.CO, Wakatobi - Setiap datang Ramadan, Wa Iba kembali memupuk harapan untuk segera mendapatkan jodoh. Dara berusia 18 tahun itu akan menyiapkan kacang untuk dijual, lalu berharap ada jejaka pembeli yang kelak menjadi pendamping hidup. Bagaimana bisa? "Ini (memang) sudah menjadi kebiasaan kami," kata dia kepada Tempo, akhir pekan lalu.

Bagi Wa Iba dan para gadis yang tinggal di Kecamatan Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, kacang goreng memang merupakan alat pengantar jodoh andalan. Berjualan kacang saat Ramadan sama artinya menyampaikan isyarat bahwa dirinya siap dipinang sang pujaan hati. Tradisi yang dikenal sebagai adat kacang jodoh ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi.

Maka, jangan heran, jika bertandang ke Wangi-wangi saat Ramadan, jalan-jalan akan dipadati gadis-gadis penjual kacang. Mereka ada yang menempati halaman rumah, pinggir jalan, atau kawasan strategis, seperti pasar dan lapangan. Tempo menyaksikan sepanjang jalan Desa Waha, Tindoi, dan Wandoka riuh dipadati gadis belia penjaja kacang jodoh.

Biasanya, para gadis ini menyiapkan sendiri kacang jualannya. Untuk mendapatkan rasa dan aroma yang enak, mereka menyangrai (menggoreng tanpa minyak) kacang kulit di atas pasir panas dalam wajan tanah liat. Kacang garing itu lantas dipajang di atas tampah dan dijual seharga Rp 2.000 per bungkus.

Lapak kacang jodoh biasanya dibuka menjelang berbuka puasa hingga selesai salat tarawih. Meski Wangi-wangi sudah diterangi listrik, mereka tetap memilih berdagang di bawah temaram lampu minyak. Itulah yang diajarkan para leluhur. Dengan gaya malu-malu kucing—ada juga yang kenes—mereka meladeni pembeli yang kebanyakan pria lajang. Jika beruntung, transaksi penganan itu bakal berlanjut menjadi perkenalan dan pernikahan.

Mustajabkah cara ini? Wa Iba sudah menjalani tradisi tersebut selama tiga tahun, tapi jodoh belum juga datang. Namun dia tak putus asa dan tetap bisa mengambil sisi baiknya. "Uang hasil jualan bisa saya tabung," katanya.

Berbeda dengan Jukni, rekan sekampung Wa Iba. Gadis yang duduk di bangku sekolah menengah pertama itu percaya bahwa tradisi kacang jodoh akan manjur baginya. Ia sudah melihat buktinya. Beberapa saudarinya bertemu dengan jodoh setelah berjualan kacang. "Mereka akhirnya menikah dengan salah satu konsumennya."

Tokoh masyarakat Wangi-wangi, Hambali, mengatakan tradisi kacang jodoh telah dilaksanakan secara turun-temurun. Ia tak tahu sejak kapan hal itu berlangsung. Di samping mempertemukan muda-mudi, dia mengatakan, tradisi ini seharusnya dimaknai sebagai metode pembelajaran bagi seorang gadis yang beranjak dewasa sebelum membina keluarga. “Bertemu jodoh atau tidak, cuma Tuhan yang bisa mengaturnya,” ujarnya.

RISNIAWANTY FIKRY (WAKATOBI)

Topik Terhangat
Front Pembela Islam | Bisnis Yusuf Mansur | Aksi Chelsea di GBK | Daging Sapi Impor