'Santri Kalong' di Pesantren Tebuireng, Jombang  

Membaca Kitab Kuning. ANTARA/Arief Priyono
Membaca Kitab Kuning. ANTARA/Arief Priyono

TEMPO.CO, Jombang - Dalam posisi tidur setengah terlentang diatas kursi panjang, lelaki paruh baya itu  membacakan satu per satu arti kata dalam kitab berbahasa Arab tanpa harakat atau lazim disebut kitab gundul. Dengan dibantu mikrofon dan lampu penerangan, ia juga menerangkan maksud hadits yang dikaji saat itu.

Di depannya, anak-anak bersarung berusia belasan tahun tampak serius menuliskan maknanya ke dalam buku. Sambil menulis, para santri menyimak makna kalimat yang dibacakan sang kiai. "Kiai sedang sakit, makanya sambil telentang," kata salah satu santri.

Begitulah suasana khataman kitab selama Ramadan di serambi masjid Pondok Pesantren Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Selain di masjid, khataman juga dilakukan di sejumlah asrama santri. Pemandangan ini bisa dijumpai setelah salat lima waktu terutama Duhur, Ashar, dan Isya.

Sebagaimana tradisi pesantren salaf, pesantren yang didirikan pendiri KH Hasyim Asy'ari ini mengadakan khataman kitab selama bulan Ramadan. Khataman digelar sejak 20 Sya'ban hingga 20 Ramadan. Setelah tanggal 20 Ramadan, para santri diperbolehkan pulang untuk berlebaran. "Kalau pondok lain libur, kami malah khataman kitab. Tradisi ini masih kami pertahankan," kata pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid yang akrab dipanggil Gus Solah, Rabu, 17 Juli 2013.

Ada 33 kitab yang dikhatamkan mulai dari kitab tentang fikih, akidah, akhlak, hadits, hingga tasawuf. Kitab besar yang dikhatamkan misalnya Sahih Muslim dan Jawahirul Bukhori yang membahas tentang hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Bukhori. Kitab-kitab lain yang sering dikaji di pesantren juga masuk dalam daftar kitab yang dikhatamkan misalnya Bidayatul Hidayah, Ta'limul Muata'alim, Bulughul Maram, Nasoihul Ibad, Sulam Munajah, dan sebagainya.

Para santri diwajibkan paling tidak mengikuti khataman satu kitab. Di Tebuireng ada sekitar 2.600 santri. Selain mengaji, mereka juga belajar di pendidikan formal dan informal. Ada enam unit pendidikan yang ada mulai dari Madrasah Muallimin, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Atas, hingga Mahad Aly atau setingkat universitas.

Selain diikuti santri yang bermukim di pondok, khataman kitab juga diikuti masyarakat luar. Mereka yang datang dari luar ini sering disebut 'santri kalong' atau santri pendatang. Seperti yang dijalani Haris Rusdianto, 24 tahun. Pemuda asal Magetan, Jawa Timur, ini mengaku datang dari jauh untuk menimba ilmu dari kitab-kitab yang dikhatamkan di Tebuireng. "Setiap Ramadan saya sempatkan khataman kitab di sejumlah pondok," kata alumni Ponpes Darul Huda, Ponorogo ini.

Selain khataman kitab di Ponpes Tebuireng, ia juga mengikuti khataman kitab di Ponpes Tarbiyatun Nasyi'in asuhan KH Abdul Aziz Mansur sekitar satu kilometer dari Tebuireng. Pada Ramadan tahun lalu, ia menimba ilmu di sejumlah pondok di Kediri, termasuk di Pesantren Al Falah, Ploso, Kabupaten Kediri. "Ya saya cari-cari (ilmu) saja," kata dia.

'Santri kalong'  muncul pada momen-momen tertentu, terutama Ramadan. Namun jumlah santri pendatang ini tak sebanyak dulu. "Hanya ada beberapa saja dari Jombang dan luar Jombang," kata salah satu pengurus Pesantren Tebuireng, H Lukman Hakim.

Aktivitas lainnya yang hanya ada di bulan Ramadan adalah Bazar Ramadan. Bazar ini menjajakan berbagai jenis makanan, kue, dan minuman untuk berbuka puasa. Setelah mengaji hingga menjelang petang, ribuan santri berbondong-bondong membeli makanan untuk berbuka puasa di stan dekat kompleks pemakaman. Bazar ini menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang.

ISHOMUDDIN