Indra Herlambang: Pamer Ibadah di Jejaring Sosial  

Editor

Nur Haryanto

Indra Herlambang. TEMPO/Yosep Arkian
Indra Herlambang. TEMPO/Yosep Arkian

TEMPO.CO, Jakarta - Bulan Ramadan bagi umat Islam tentunya memperbanyak ibadah. Bagaimana dengan versi Indra Herlambang, penulis dan presenter. Mari simak uraiannya.

Dalam pelajaran agama Islam semasa SMP dulu, ada sebuah agenda yang harus diisi setiap bulan puasa. Buku ini adalah jurnal ibadah yang merekam semua kegiatan keagamaan para siswa. Di dalamnya terdapat kolom-kolom yang harus dicentang untuk menandakan ibadah telah ditunaikan. Dari salat wajib, salat sunah, puasa, tadarusan, hingga yang lainnya.

Saya termasuk murid pemalas. Alih-alih rutin mengisi agenda setiap hari, saya menunggu hingga akhir bulan untuk melengkapinya. Itu pun dengan sedikit mengandalkan daya ingat dan selebihnya bergantung pada kadar kreativitas yang cukup tinggi (alias mengarang bebas!).

Supaya tampak autentik dan manusiawi, tiap hari ada beberapa kolom yang sengaja saya kosongkan. Misalnya: Hari ini tidak salat duha, besok tidak isya. Sebagai kompensasi dan demi terlihat lebih “niat”, buku itu saya beri hiasan berupa gegaris warna-warni dan sedikit ilustrasi.

Sejujurnya saya sungguh kaget saat mendapati bahwa tugas itu meraih nilai lebih tinggi ketimbang teman sebangku yang agenda Ramadan-nya penuh terisi. Sepertinya tambahan poin itu saya dapatkan dari berbagai hiasan yang sengaja ditambahkan di sana-sini untuk membuat agenda itu terlihat lebih warna-warni. Di situ saya mulai yakin bahwa kreativitas mampu menyelamatkan hidup saya.

Tahun ini, lebih dari dua dekade setelah saya lulus SMP (ya, saya setua itu), saya menemui agenda serupa dalam bentuk yang berbeda. Sama seperti dalam pelajaran agama sewaktu sekolah dulu, di dalam agenda baru ini banyak orang yang rajin menuliskan setiap ibadah yang telah berhasil mereka tunaikan. Bedanya, sementara dulu tugas itu berbentuk buku, sekarang berupa gadget. Dan namanya bukan agenda, melainkan Twitter, Path, atau Facebook.

Kenapa banyak di antara kita yang merasa harus rajin menuliskan update tentang ibadah sehari-hari (terutama pada bulan Ramadan) di beragam situs jejaring pertemanan? Sebagai orang yang nyaris selalu berpikiran positif, saya melihat banyak hal baik di balik kebiasaan ini. Menulis "Salat subuh dulu, ah!" atau "Siap-siap tadarusan malam ini" atau "Buka puasa bareng anak yatim" sebagai status terbaru di Twitter bisa saja dianggap sebagai cara untuk pamer.

Tapi tidakkah hal ini bisa dilihat pula sebagai ajakan? Sebagai pengaruh cerdas untuk berbuat kebaikan? Apa yang salah dari mengajak orang lain untuk beribadah? Saya yakin ada di antara kita yang melihat update status ibadah ini sebagai sesuatu yang menggelikan. Ibadah, kok, pake pengumuman.

Ya, terus kenapa? Mengumumkan perbuatan baik kepada orang banyak seharusnya bisa dilihat sebagai inspirasi. Siapa tahu, setelah membaca timeline yang super-sejuk, followers bisa jadi lebih rajin beribadah. Sama-sama mendapat pahala, kan?

Terserah, sih, mau melihat hal ini sebagai apa. Saya, sih, kembali memilih meyakini bahwa ibadah dan agama adalah urusan pribadi dengan Sang Maha Kuasa. Mau ibadahnya dipamerkan dalam agenda berupa sosial media atau disimpan dalam hati saja, yang terpenting adalah “nilai rapor” yang akan kita terima pada akhir hidup nanti.