Sengsara dan Nikmat Berpuasa di Korea  

Editor

Nur Haryanto

Umat muslim selesai sholat Ied di Itaewon, Korea Selatan, (19/8). TEMPO/Dianing Sari
Umat muslim selesai sholat Ied di Itaewon, Korea Selatan, (19/8). TEMPO/Dianing Sari

TEMPO.CO, Jakarta - Hari-hari ini, matahari di Semenanjung Korea sedang “galak”. Suhu mencapai 32 derajat Celsius dan kelembaban 74 persen--jauh lebih tinggi dibanding daerah lain di Asia yang mentok di 66 persen. Namun Sunardi Ali Rosidi, 30 tahun, tetap harus bekerja sembari berpuasa di perusahaan baja di Busan, tempatnya mengadu nasib.

"Berpuasa di suhu panas dan lembab merupakan cobaan paling berat di sini," kata pria asal Sragen, Jawa Tengah, itu kepada Tempo di Busan, Korea Selatan, awal Juli 2013. Dia bekerja selama 14 jam sehari, dipotong istirahat 1,5 jam. "Kelembaban tinggi kadang membuat sulit bernapas."

Sunardi, yang sudah empat tahun menetap di negeri asal penyanyi PSY itu, mengatakan kesulitan lain berasal dari panjangnya periode puasa. Di Korea, imsak jatuh pada pukul 03.30, dan baru bisa berbuka pada pukul 20.00. Sekitar tiga jam lebih lama ketimbang di Indonesia. "Karena itu, banyak muslim di sini yang tidak berpuasa," kata dia.

Yassir Lee Jong Eok, imam Masjid Besar Al-Fatah, Busan, mengatakan warga Islam di Korea Selatan tidak antusias menyambut Ramadan. Dia mengatakan ada sekitar 800 warga Busan yang terdaftar sebagai muslim, tapi belum menjalankan ibadahnya secara sempurna. “Mereka hanya mendaftarkan diri sebagai muslim, tapi belum menjalankan ibadahnya secara kaffah," ujar dia. "Jadi, di bulan puasa ini, masjid tidak ramai.”

Imam Yassir berusaha meramaikan masjid dengan lomba membaca Al-Quran dan azan. Pesertanya adalah jemaah dari musala-musala di seluruh Busan. Jangan bayangkan musala di sana seperti di permukiman Anda. Tempat salat yang dia maksudkan hanya berupa ruangan dalam gedung yang disewa--sekitar Rp 600 ribu per bulan--secara saweran oleh komunitas muslim, yang kebanyakan pekerja dari Indonesia dan Bangladesh.

“Pesertanya kebanyakan warga asing,” kata Imam Yassir. Ada senyuman kecut terbentuk di bibirnya. Namun sang imam tidak menyerah. Hampir setiap hari dia dan beberapa asistennya bolak balik Seoul-Busan yang berjarak sekitar 400 kilometer untuk berceramah dalam bahasa Korea. Maklum, di Korea hanya ada dua masjid besar, yaitu Masjid Itaewon di Seoul dan Masjid Al-Fatah.

Di Korea Selatan, umat Islam tergolong minoritas, jumlahnya 35 ribu orang. Warga muslim di Negeri Ginseng didominasi pendatang, termasuk Indonesia. Ahmad Murdani, 27 tahun, mengatakan warga Indonesia di Busan hampir tiap hari berbuka bersama untuk mengobati kangen akan suasana Ramadan di Tanah Air. Lengkap dengan masakan rumahan. Masing-masing anggota dikenai "kutipan" ala kadarnya dan terkumpul sekitar Rp 600 ribu untuk sekali berbuka.

Mereka berkumpul di Musala Al-Misbah di Distrik Sasang, Busan. Musthofa asal Cilacap bertugas sebagai koki. "Rasanya seperti masakan rumah," ujar Murdani. Muslim lain, termasuk dari Uzbekistan, Kazakhstan, dan Bangladesh pun tergoda mencicipi racikan Musthofa, meskipun tidak ikut saweran. “Indah deh pokoknya," kata Murdani. "Ramadan di negeri orang lebih terasa mesranya.”

CHETA NILAWATY (BUSAN)


Berita Utama:
Dahlan Iskan Minta Investasi Yusuf Mansur Ditutup

Yusuf Mansur Bantah Investasi Miliaran di Mekah

Jokowi: Nama Saya Siapa? Anak Kecil: Sukowi!

Muslim Uighur Dipaksa Makan Selama Ramadan

Gerindra Siapkan Jokowi Jadi Presiden 2019