Legitnya Jenang Grendul di Bulan Puasa  

TEMPO/ Amston Probel
TEMPO/ Amston Probel

TEMPO.CO, Banyuwangi - Wiwit Sungkono menata seratus gelas plastik di atas meja kayu. Gelas plastik itu berisi bubur cokelat dengan bulatan-bulatan sebesar telur puyuh. Setengah jam kemudian, seluruh takjil sudah tertata rapi. Wiwit duduk manis menunggu pembeli.

Bubur cokelat yang dijual Wiwit itu adalah jenang grendul. Meski daerah lain juga mengenal jenang ini, tapi di Banyuwangi, Jawa Timur, grendul hanya muncul saat bulan Ramadan saja. "Di luar bulan puasa tidak ada yang jual," kata perempuan yang memiliki usaha kuliner rumahan ini, Selasa, 16 Juli 2013.

Wiwit membuka lapaknya di pasar takjil tradisional yang terletak di Jalan Brigjen Katamso atau sebelah utara gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banyuwangi. Jenang grendul dijual hampir seluruh pedagang di pasar itu. Namun, jenang milik Wiwit lebih istimewa. Selain rasanya lebih enak, tampilannya juga lebih cokelat dan kental.

Disebut jenang grendul karena terdapat bulatan-bulatan yang teksturnya kenyal. Bahan utama jenang ini terbuat dari tepung ketan. Menurut Wiwit, cara membuat jenang ini cukup mudah. Mula-mula tepung diberi air secukupnya kemudian digulung menjadi bulatan-bulatan kecil.

Setelah itu, bulatan-bulatan ketan dimasukkan ke dalam gula merah yang lebih dulu dicairkan. Adonan ini dipanaskan lagi hingga mendidih dan kental. Cara mengkonsumsinya, jenang disiram dengan santan.

Setiap hari, Wiwit mengolah lima kilogram tepung ketan. Adonan ini menjadi seratus gelas jenang. Takjil ini ternyata cukup digemari pembeli dan selalu ludes terjual. Harganya cukup murah, hanya Rp 3.000 per gelas. "Lumayan hasilnya untuk Lebaran," kata dia.

Budiyanto, salah satu pembeli jenang grendul, mengatakan suka menyantap makanan ini untuk berbuka puasa. Selain rasanya yang legit, jenang grendul juga mengenyangkan. "Apalagi cuma ada setahun sekali," kata dia.

IKA NINGTYAS