Riuhnya Pasar Takjil Tradisional di Banyuwangi

Aneka hidangan berbuka puasa dijajakan di sebuah Pasar Takjil di Banyumas (12/7). Tempo/Ika Ningtyas
Aneka hidangan berbuka puasa dijajakan di sebuah Pasar Takjil di Banyumas (12/7). Tempo/Ika Ningtyas

TEMPO.CO, Banyuwangi - Maharta bersama dua anaknya membeli 10 takjil sekaligus di lapak milik Lilis Suheni, pada Sabtu sore 13 Juli 2013 lalu. Ada berbagai jenis takjil yang dia pilih mulai es buah, kudapan hingga masakan tradisional. "Cuma setahun sekali begini," kata pegawai negeri sipil itu.

Hari itu pertama kalinya Maharta membeli takjil karena istrinya libur memasak. Dia pun memilih pasar takjil tradisional di Jalan Brigjen Katamso, setelah mengetahui keberadaan pasar itu dari kawan-kawan sekantornya. Begitu melihat takjil tradisional yang dijual pedagang, dia pun kalap membeli dalam jumlah banyak. "Sepertinya enak semua," kata dia.

Lilis Suheni, si pedagang takjil, langsung sumringah dagangannya laku. Setelah kedatangan Maharta, pembeli lainnya terus mengalir. Dagangannya sudah hampir ludes, padahal masih setengah empat sore. "Kalau cuaca cerah begini, dagangan laris," kata perempuan 35 tahun ini.

Pasar takjil tradisional tersebut sebenarnya muncul dadakan. Sekitar 20 pedagang berjualan dalam empat tahun terakhir. Sebelumnya mereka berjualan di depan makam Taman Pahlawan, Jalan Ahmad Yani. Namun tahun ini, Satuan Polisi Pamong Praja memindahkan aktivitas mereka di Jalan Brigjen Katamso atau utara kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banyuwangi, Jawa Timur.

Di kanan-kiri jalan, pedagang menggelar lapak sederhana dari meja-meja kayu. Payung besar berwarna-warni menangungi di atasnya. Takjil yang dijual sebagian besar olahan tradisional khas Banyuwangi seperti pethulo, serabi, jenang grendhul, dan kopyor roti. Tak hanya itu, masakan tradisional juga digeber. Ada semanggi, pakis, sayur koro pedas, pincuk onthong dan sebagainya.

Bila ingin takjil yang segar, bisa memiih es buah, es blewah, kelapa muda, es manado dan rujak. Makanan dan minuman itu ditempatkan dalam gelas dan mika plastik transparan. Seluruh takjil dan makanan dibanderol dengan harga miring yakni antara Rp 3 ribu - Rp 10 ribu.

Lilis Suheni mengatakan, dia berjualan takjil untuk mencari penghasilan tambahan menjelang Lebaran. Keuntungannya lumayan, bisa mencapai hampir Rp 3 juta sebulan. Penghasilan ini cukup menggiurkan, karena selama ini ia dan suami hanya bekerja serabutan. "Penghasilan tetap kami tak tentu," kata warga Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri ini.

Beberapa jenis takjil dagangangnya ia beli dari orang lain seperti pethulo, serabi, jenang grendhul, kopyor roti serta aneka es buah. Setiap pukul dua siang, pemasok takjil-takjil itu mengantarnya langsung ke lapak Lilis. Dari pemasok harga takjil Rp 2.500 kemudian dia jual seharga Rp 3.000.

Perempuan dua anak ini hanya mengolah beberapa jenis masakan seperti semanggi, pakis, dan pincuk ontong. Bahan baku ketiga makanan ini biasanya dicari sendiri di ladang dan sawah.

Bila cuaca sedang bagus, 200 takjil yang dijajakannya akan habis dalam dua jam. "Hambatannya hanya hujan. Kalau hujan pasti tak laku," kata dia.

Wiwik Sungkono, pedagang takjil lainnya, mengkhususkan diri menjual jenang grendul dan jenang biji salak seharga Rp 3.000 / gelas. Kedua jenis takjil ini dibuatnya sendiri. Menurut Wiwik, setiap hari 150 gelas takjilnya habis terjual. "Penghasilan saya Rp 150 ribu sehari," kata dia.

Pasar takjil dadakan ini tak pernah sepi pengunjung. Setiap sore, puluhan orang berbondong-bondong memadati setiap lapak pedagang. Saking padatnya, jalanannya pun ikut macet. Pasar ini buka setiap hari pada pukul 14.00 hingga 18.00 WIB.

IKA NINGTYAS