Kicak, Penganan Khas Ramadan di Yogyakarta

Editor

Zed abidien

Kicak, kue khas Ramadan yang dijajakan di Pasar Sore Ramadan Kampung Kauman Kota Yogyakarta. TEMPO/Anang Zakaria
Kicak, kue khas Ramadan yang dijajakan di Pasar Sore Ramadan Kampung Kauman Kota Yogyakarta. TEMPO/Anang Zakaria

TEMPO.CO, Yogyakarta - Walidah belum sempat melepas lelah saat pembeli ramai mendatangi warungnya, Kamis sore pekan lalu. Terletak di Kelurahan Ngupasan, Gondomanan, warung itu menyatu dengan sebuah rumah berdinding gedek di Kauman, sebuah kampung tak jauh dari alun-alun Utara Yogyakarta. “Jam 12 siang mulai masak kicak, jam dua sudah habis dibeli,” kata perempuan 50 tahun itu.

Kicak merupakan penganan khas Yogyakarta. Terbuat dari bahan ketan (jadah), makanan ini hanya ditemui di bulan Ramadan. Rasanya yang manis dan gurih-–karena campuran gula dan parutan kelapa-- menjadikan makanan ini sebagai takjil favorit menjelang berbuka. Walidah membuat dua ratus bungkus kicak saban hari. Ditawarkan seharga Rp 2.500 per bungkus, sebagian di antaranya dikulak pedagang untuk dijual kembali.

Untuk membuat kicak sebanyak itu, Walidah membutuhkan 13 kilogram ketan jadah, 10 butir kelapa, 3 kilogram gula, serta seperempat buah nangka. Bahan-bahan itu lantas dimasak dalam satu wadah. Agar kicak tak lekas basi, parutan kelapa dikukus dulu sebelum dicampurkan bersama bahan-bahan yang lain. Dengan tambahan daun pandan dan vanili, kicak yang telah matang kemudian dibungkus daun pisang. “Bungkus daun pisang ini membuat aroma kicak semakin nikmat,” kata dia.

Di sepanjang gang tempat Walidah berjualan selalu muncul pasar dadakan tiap Ramadan tiba. Namanya Pasar Sore Kauman. Aneka makanan dijual pedagang di sepanjang gang itu, termasuk kicak. Berbeda dengan kicak asal warung Walidah, kicak yang dijual pedagang tersebut kebanyakan dibungkus dengan plastik mika.

Bagi warga sekitar gang Kauman, di warung tempat Walidah itulah mula-mula kicak lahir. Adalah Mbah Wono, perempuan yang kini berusia 81 tahun, yang membuatnya pertama kali. “Sekarang saya tidak ikut masak, saya cuma bantu-bantu saja,” kata perempuan bernama asli Sujilah itu. Nama Wono disandangnya karena bersuamikan Muhammad Wahono, seorang mantri di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Kota Yogyakarta.

Mbah Wono membuat kicak sejak tahun 1950, saat usianya baru 18 tahun. Semula ia sekadar coba-coba membuat makanan itu. Bersama makanan lain, kue tradisional itu dibuat dan dijajakannya hanya saat Ramadan tiba. Karena terus diminati pembeli, saban tahun ia pun rutin membuat kicak.

Ia sendiri tak pernah memberi nama untuk penganan buatannya. Nama kicak, menurut dia, muncul dari para pembeli. Ia menduga, nama itu diberikan pembeli karena jadah, bahan utama makanan itu, juga dikenal dengan nama kicak.

Bagi sebagian pelanggan kicak Mbah Wono seakan memiliki citarasa tersendiri. Yusri Fahmanto, 35 tahun, salah satunya. Rasanya lebih gurih, teksturnya tak terlalu lembek. “Saya mulai mencicipi kicak mbah Wono sejak TK, kok rasanya tetap tak berubah,” kata pria asli Kauman yang kini tinggal di Kotagede itu.

Di bulan puasa kicak kini telah populer. Banyak pedagang yang menjajakannya. “Di Kotagede juga ada yang jualan kicak, tapi tak seenak buatan mbah Wono,” kata dia.

ANANG ZAKARIA