Ulil Abshar Abdalla: Bulan Mengulurkan Tangan

Editor

Nur Haryanto

Ulil Abshar Abdalla. TEMPO/Subekti
Ulil Abshar Abdalla. TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Jakarta - Bulan puasa tentu memiliki banyak lapisan makna dan pengertian. Setiap individu atau kelompok sosial dalam umat Islam bisa membubuhkan makna yang berbeda-beda pada bulan ini.

Sebagian kalangan memaknai bulan ini sebagai momen untuk menegakkan kesucian dan kewibawaan agama dengan cara melakukan "sweeping" terhadap tempat hiburan malam atau restoran dan rumah-rumah makan yang buka pada siang hari.

Sebagian kalangan lain memaknai bulan ini sebagai momen kontemplasi, munajat, refleksi, dan permenungan yang mendalam. Kewibawaan puasa bukan di ruang publik yang gemebyar, melainkan dalam hati. Inti puasa, bagi kalangan ini, adalah self-restrain, pengendalian diri, atau dalam istilah yang kerap dipakai dalam buku-buku hukum Islam sebagai al-imsak.

Bagi sebagian kalangan, inilah bulan peningkatan omzet penjualan. Sudah bukan rahasia lagi, inilah bulan yang selalu ditandai dengan gejala moneter yang menarik-kenaikan angka inflasi. Bukannya mengendalikan nafsu mengkonsumsi barang, bulan puasa malahan jadi arena jor-joran konsumsi. Terberkatilah wahai kalian, kaum pedagang!

Bagi kalangan masyarakat umum, puasa memiliki makna yang lebih "folkish"—merakyat. Inilah momen saat keluarga berkumpul berbagi kegembiraan dan kehangatan; momen kemeriahan sosial saat tarawih atau kemeriahan lain setelah sahur. Setiap magrib tiba adalah pesta makanan yang meriah di masing-masing rumah, ditutup dengan pesta besar di ujungnya saat Lebaran tiba.

Yang menikmati kemeriahan puasa bukan hanya kalangan Islam, tetapi juga nonmuslim. Acara-acara bukber atau buka bersama banyak diselenggarakan di kota-kota besar seperti Jakarta, lalu dilanjutkan, biasanya, dengan tarawih dan diskusi. Para intelektual dan rohaniwan Kristen atau Katolik kerap diundang ke acara-acara seperti itu.

Bagi saya, Ramadan adalah a month of extending hands, bulan mengulurkan tangan. Yang berpunya mengulurkan tangannya kepada yang tak mampu dalam suatu aksi solidaritas sosial; yang tahu mengulurkan tangan kepada yang belum tahu dalam aksi berbagi ilmu dan informasi; dan yang mayoritas mengulurkan tangan kepada yang minoritas dalam aksi saling membangun pengertian dan dialog.

Sebab, masyarakat memang hanya bisa tegak jika anggota-anggota di dalamnya saling mengulurkan tangan satu kepada yang lain dalam aksi keterbukaan dan toleransi.