TEMPO.CO, Banda Aceh - Seusai subuh, Selasa 9 Juli 2013, Azhar sudah keluar rumah memacu motornya menuju pasar daging dadakan di kawasan Ulee Kareng, Banda Aceh. Pasar itu sudah mulai ramai oleh para penjual daging. "Meugang hari ini, saya harus membelinya cepat-cepat, sebelum masuk kantor," katanya. Di rumah daging dan sejumlah bumbu diserahkan kepada istrinya yang siap untuk dimasak.
Meugang adalah tradisi turun temurun di Aceh, salah satunya ketika menyambut bulan suci Ramadan. Tradisi itu berlansung selama dua hari, saat menyambut Ramadan, menyambut Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. "Tak lengkap puasa sepertinya, tanpa kita jalani meugang," ujar Azhar.
Pasar daging pun tambuh bak jamur musim hujan. Hampir setiap pelosok pasar kecamatan, mereka menggelar lapak-lapak daging. Hampir semuanya menjual dengan harga yang seragam. "Hari ini harganya sekitar Rp 120 - Rp 130 ribu," ujar Rahmat, seorang penjual daging.
Menurut Rahmat, harga jual daging di hari meugang lebih mahal dari hari biasanya, yang hanya Rp 90 ribu. Tapi umumnya pembeli cukup paham dan tak terlalu mempermasahkan. "Ya begitulah tradisinya, jarang yang protes."
Mahalnya harga daging saat meugang dinilai lumrah. Selain permintaan meningkat, umumnya yang dipotong hari itu adalah sapi atau kerbau yang mutu dan harganya lebih tinggi dari ternak impor.
Hari meugang, tak hanya pasar yang sibuk. Kantor-kantor pemerintahan di Aceh nyaris kosong saat menjelang siang. Para pegawai umumnya pulang ke rumah, untuk mencicipi daging masakan, menjalankan tradisi meugang. Bahkan pegawai perempuan diizinkan pulang lebih cepat, untuk menyiapkan masakan daging yang akan dinikmati bersama keluarga. "Yang kaya umumnya membeli lebih banyak, untuk dibagikan kepada tetangga yang miskin dan anak yatim," kata Adli Abdullah, pemerhati sejarah Aceh.
Menurut riwayat meugang pertama sekali diperingati pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Muda yang berkuasa tahun 1607-1636 M. Istilah makmeugang diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau Undang-Undang Kerajaan.
Saat itu, sultan memerintah perangkat desa untuk mendata warga miskin, dan kemudian membagi daging untuk dinikmati bersama keluarga. Mereka harus ikut gembira menyambut hari-hari besar agama Islam. Kebiasaan itu terus turun-temurun, menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat. Mengonsumsi daging sambil bersilaturrahmi. "Orang miskin pun akan membeli daging untuk dikonsumsi jelang ramadan," jelas Adli.
ADI WARSIDI
Topik terhangat:
Penemu Muda | Bursa Capres 2014 | Tarif Progresif KRL | Bencana Aceh
Berita lainnya:
Beruang Salju Ini Hentikan Laju Kapal Raksasa
Modus Baru, Bobol ATM Tanpa Mengurangi Saldo
Bos Sanex Steel Disebut Pernah Setor Anas Rp 5 Miliar
Jokowi: Saya Trendsetter Bukan Follower
Abraham: Nazar Tak Bisa Dipercaya 100 Persen