Jamaah Aolia di Gunungkidul Sudah Rayakan Lebaran Jumat Ini, Siapa Mereka?

Editor

Yudono Yanuar

Jjamaah Masjid Aolia melaksanakan ibadah Shalat Idul Fitri di Giriharjo, Panggang, Gunung Kidul, D.I Yogyakarta, Jumat (5/4/2024). JANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/agr/aww.
Jjamaah Masjid Aolia melaksanakan ibadah Shalat Idul Fitri di Giriharjo, Panggang, Gunung Kidul, D.I Yogyakarta, Jumat (5/4/2024). JANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/agr/aww.

TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan Jamaah Masjid Aolia di Dusun Panggang III, Giriharjo, Kecamatan Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar shalat Idul Fitri 1445 Hijriah, Jumat, 5 April 2024. 

Dengan diiringi gema takbir, jamaah berdatangan di Masjid Aolia dan rumah Imam Jamaah Masjid Aolia KH Raden Ibnu Hajar Sholeh Pranolo atau acap disapa Mbah Benu mulai pukul 06.00 WIB.

Di kedua lokasi berjarak beberapa meter itu, mereka melaksanakan shalat Id sekitar pukul 06.58 WIB, dilanjutkan mendengarkan khotbah, dan diakhiri saling bersalam-salaman.

Tampak sejumlah personel Polri, TNI, serta Banser melakukan pengamanan di kawasan itu.

Usai memimpin shalat Id, Imam Jamaah Masjid Aolia Mbah Benu berpesan agar masyarakat terus merawat persatuan dan kerukunan satu sama lain.

"Saling rukun, jaga persatuan dan kesatuan dengan siapa saja," ujar pria berusia 82 tahun itu.

Dia meminta jamaahnya tak mudah menyalahkan orang lain, termasuk soal perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri.

"Jangan menyalahkan orang. Ya kalau salah, tapi kalau benar malah dia yang untung kita yang jadi tertuduh," ujar dia.

Selain merayakan Idul Fitri lebih awal, mereka juga memulai puasa Ramadhan sejak 7 Maret 2024 berdasar keyakinan spiritual Mbah Benu selaku pimpinan jamaah.

Kepala Dukuh Panggang III, Agung, mengatakan jamaah Masjid Aolia sudah ada sejak lama dan hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya di dusun tersebut.

Perbedaan awal Ramadhan dan 1 Syawal antara jamaah Masjid Aolia dengan masyarakat lainnya sudah biasa dan hingga saat ini tidak pernah menimbulkan masalah.

"Tidak pernah ada gesekan. Sebelum saya lahir sudah ada (Jamaah Masjid Aolia)," kata dia.

Kepala Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY, Jauhar Mustofa, menuturkan Jamaah Masjid Aolia pada dasarnya memiliki amalan atau tata cara beribadah layaknya warga Muslim pada umumnya.

Hanya saja, dalam penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawal mereka memiliki keyakinan atau prinsip sendiri, tanpa menggunakan metode hisab maupun rukyat.

"Mereka punya dalil sendiri yang itu diyakini oleh pemimpinnya, Pak Ibnu dan pengikutnya," kata dia.

Menurut Jauhar, Kemenag DIY tidak dapat memaksa mereka mengikuti aturan yang selama ini telah ditentukan pemerintah.

"Meskipun tahun ini agak mencolok karena bedanya sampai lima hari. Ini sangat-sangat mencolok. Kalau biasanya kan hanya (selisih) satu dua hari, tapi tahun ini memang agak mencolok sehingga memang menjadi perhatian," kata dia.

Menurut dia, Kemenag DIY bakal terus melakukan pendekatan dan silaturahmi dengan pemimpin jamaah itu melalui KUA maupun Kemenag kabupaten. "Agar saling silaturahmi antara pemerintah dan ulama tetap terjaga," ujar Jauhar.

Mengenal Jamaah Aolia

Dalam penelitian Ida Novianti dan Arif Hidayat dari IAIN Purwokerto tentang Tasawuf dan Penyembuhan: Studi atas Air Manaqib, tahun 2011, diketahui bahwa Jamaah Aolia didirikan pada 12 Agustus 1984 oleh  KH. R. Ibnu Hajar Sholeh Prenolo bermula dari jamaah biasa dalam salat lima waktu dan  salat Jumat.

Selain memberikan pelajaran agama, Ibnu juga memberikan wawasan lingkungan pada jamaahnya, misalnya dengan membangun bak penampung air hujan di bagian bawah masjid untuk menjamin ketersediaan air di lingkungan sulit air itu.

Ibnu juga banyak menanam pohon, seperti jati, yang bisa tetap tumbuh di daerah kurang air dan daun yang rontok di musim kemarau, menjadi pupuk saat musim penghujan.

Menurut peneltian itu, ketika peresmian masjid, sengaja dimeriahkan dengan dangdut dan wayang, untuk menarik minat orang muda datang ke masjid. 

Saat ini, jumlah jamaah masjid Aolia sekitar 1.500-an berasal dari  berbagai kalangan. Sebagian besar  jamaah berasal dari daerah Panggang itu sendiri, tetapi ada juga yang berasal dari Jakarta, Purwokerto, Bandung, dan beberapa daerah lainnya.

Mereka berprofesi mulai dari petani, PNS,  buruh, anggota legislatif, maupun  pengangguran, dengan berbagai latar belakang pendidikan.

Karena tersebar di berbagai tempat, ada pembagian imam pada daerah masing-masing. Imam daerah sebagai upaya agar tidak selalu bergantung kepada KH Ibnu Hajar Soleh Prenolo.

ANTARA | SCRBD

Pilihan Editor Korlantas Tunda Pemberlakuan Sistem One Way di Tol Trans Jawa, Ini Sebabnya