Kenapa Awal Ramadan dan Lebaran di Indonesia Sering Berbeda? Ini Penjelasannya

Reporter

Editor

Laili Ira

Awal Ramadan dan lebaran di Indonesia sering berbeda. Hal ini lantaran ada perbedaan pendapat dari masing-masing ulama. Berikut ini penjelasannya. Foto: Canva
Awal Ramadan dan lebaran di Indonesia sering berbeda. Hal ini lantaran ada perbedaan pendapat dari masing-masing ulama. Berikut ini penjelasannya. Foto: Canva

TEMPO.CO, JakartaDi Indonesia, terdapat perbedaan pendapat mengenai penetapan awal puasa dan lebaran. Hal ini terjadi karena banyaknya organisasi keagamaan Islam di Indonesia yang memiliki pendapat masing-masing, seperti Muhammadiyah hingga NU.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama selalu menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal atau lebaran melalui sidang isbat. 

Sedangkan, organisasi seperti Muhammadiyah telah lebih dulu menetapkan awal puasa dan lebaran melalui metode hisab atau perhitungan bulan yang telah lama digunakan dalam perhitungan kalender Islam Muhammadiyah.

Dikutip dari muhammadiyah.or.id, Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada 11 Maret 2024. Sedangkan, Idul Fitri 1 Syawal 1445 bertepatan dengan 10 April 2024. Penetapan 1 Ramadan dan Idul Fitri itu dinyatakan dalam surat penetapan Hasil Hisab Awal Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah 1445 H.

Sementara itu, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama (Kemenag) RI telah menyusun kalender Hijriah Indonesia 2024. 

Berdasarkan kalender tersebut, awal puasa Ramadan 2024 atau 1 Ramadan 1445 H versi pemerintah jatuh pada 12 Maret 2024. Sedangkan, lebaran atau 1 Syawal 1445 H akan bertepatan dengan 10 April 2024.

Meski begitu, penetapan tanggal tersebut masih belum pasti karena Kementerian Agama harus melakukan sidang isbat terlebih dahulu pada satu hari sebelum puasa dan lebaran untuk mengamati hilal.

Lantas, kenapa awal Ramadan dan lebaran di Indonesia sering berbeda? Simak rangkuman informasi selengkapnya berikut ini.

Alasan Perbedaan Awal Puasa dan Lebaran di Indonesia

Melansir dari laman Nahdlatul Ulama atau NU Online, sejumlah ulama berbeda pendapat dalam menetapkan awal bulan Ramadan. Ada dua kelompok ulama yang penetapan Ramadan-nya digunakan di Indonesia.

Pertama, mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/ mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 185 dan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. 

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776).

Kedua, sebagian ulama yang meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal).

Para ulama tersebut berpedoman pada hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 5. 

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu),” Q.S. Yunus ayat 5.

Perbedaan penggunaan dua metode inilah yang membuat awal Ramadan dan lebaran di Indonesia sering berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah. 

Selain itu, Muhammadiyah juga menggunakan kriteria wujudul hilal, yang telah lama dijadikan dasar untuk menentukan awal bulan dalam kalender Islam Muhammadiyah. 

Sementara pemerintah, merujuk pada kriteria-kriteria visibilitas hilal yang ditetapkan oleh Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

Dilansir dari brin,go.id, MABIMS merupakan kriteria baru penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal yang ditetapkan oleh Menteri Agama dari empat negara. Kriteria ini baru dipakai di Indonesia pada 2022, khususnya pada penentuan awal Ramadan dan hari raya 1443 H.

Pada kriteria baru ini, ketentuan tinggi hilal minimal terlihat 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. Hal ini lebih tinggi dari ketentuan sebelumnya yang berdasarkan tinggi hilal minimal 2 derajat dan elongasi atau jarak sudut bulan ke matahari minimal 3 derajat serta umur bulan minimal 8 jam.

RADEN PUTRI

Pilihan Editor: Ragam Promo Shopee Menjelang Lebaran: Gratis Ongkir hingga Diskon Tiket Transportasi