Tradisi Menyambut Ramadhan: Jejak Sejarah dari Budaya Padusan di Tanah Jawa

Sejumlah warga mengikuti tradisi keramas bersama di bantaran Sungai Cisadane, Kota Tangerang, Banten, Selasa, 21 Maret 2023. Tradisi keramas bersama tersebut sebagai simbol membersihkan diri menjelang Ramadan. ANTARA FOTO/Fauzan
Sejumlah warga mengikuti tradisi keramas bersama di bantaran Sungai Cisadane, Kota Tangerang, Banten, Selasa, 21 Maret 2023. Tradisi keramas bersama tersebut sebagai simbol membersihkan diri menjelang Ramadan. ANTARA FOTO/Fauzan

TEMPO.CO, Jakarta -  Tradisi padusan, sebuah tradisi mandi di sumber mata air yang dilakukan masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadhan, menyimpan sejarah panjang dan makna mendalam.

Tradisi ini tak hanya sebatas ritual membersihkan diri secara fisik, namun juga merepresentasikan penyucian diri secara spiritual, menyambut bulan suci dengan hati yang bersih.

Apa itu Tradisi Padusan?

Dilansir dari indonesia.go.id, kata "padusan" berasal dari bahasa Jawa "adus" yang berarti mandi. Tradisi ini dimaknai sebagai simbol penyucian diri dari segala kotoran dan dosa, baik secara fisik maupun batin.

Selain itu, tradisi padusan juga dianggap sebagai salah satu bentuk ibadah yang dapat mendekatkan diri pada Tuhan. Sebagai bagian dari upacara keagamaan, tradisi ini juga dilakukan dengan diiringi doa-doa dan zikir untuk memohon kesembuhan dan berkah dari Allah SWT.

Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa diajarkan untuk senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh. Selain itu, tradisi ini juga menjadi media untuk mempererat tali silaturahmi antar warga, sehingga tercipta kebersamaan dan persatuan di tengah masyarakat.

Padusan tidak hanya sekedar mandi di air suci, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual untuk membersihkan jiwa dan raga. Tradisi ini menuntut seorang individu untuk merenung dan introspeksi diri dari berbagai kesalahan yang telah dilakukan pada masa lalu.

Dalam suasana sepi, seseorang diharapkan dapat menemukan kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Suasana hening ini membawa keyakinan dan kesadaran untuk memasuki bulan Ramadan sebagai pribadi yang lebih suci dan lebih baik.

Namun, seperti halnya banyak tradisi lainnya, nilai-nilai padusan juga mengalami perubahan seiring waktu. Pergeseran nilai terhadap ritual ini menjadi fenomena yang cukup mencolok. Padusan yang semestinya bersifat sakral dan pribadi, kini telah beralih menjadi kegiatan beramai-ramai, bahkan menjadi objek wisata. 

Akar Sejarah Tradisi Padusan

Tradisi Padusan memiliki akar yang dalam dalam budaya Jawa. Menurut sejarah, tradisi ini telah ada sejak zaman kerajaan Mataram Kuno. Dikenal dengan nama "amertabhujangga" dalam bahasa Sanskerta yang bermakna "mandi di air suci", ritual ini telah dilakukan oleh para raja dan bangsawan sebagai bagian dari upacara keagamaan dan juga sebagai upaya menjaga kesehatan dan kesucian tubuh.

Pada masa itu, tradisi Padusan dilaksanakan dengan memanfaatkan air dari mata air suci yang dipercaya memiliki khasiat penyembuhan. Mandi di mata air tersebut tidak hanya dipandang sebagai bentuk kebersihan fisik, tetapi juga sebagai upaya spiritual untuk mendapatkan berkat dari dewa-dewi.

Dilansir dari studi berjudul Pandangan Masyarakat Mengenai Tradisi Padusan, ritual ini dilakukan oleh para ksatria, pujangga, brahmana, dan empu sebagai bentuk penyucian diri pada masa Kerajaan Majapahit.

Setelah masa kerajaan, tradisi Padusan terus berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat Jawa. Pada awalnya, tradisi ini hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan dan priyayi, namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini merambah ke kalangan rakyat biasa.

Pada masa kolonial Belanda, tradisi Padusan sempat mengalami penurunan popularitas, namun tetap dipertahankan dan terus dilestarikan oleh masyarakat Jawa. Setelah Indonesia merdeka, tradisi Padusan mendapatkan perhatian yang lebih besar lagi, bahkan dijadikan sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan oleh pemerintah Indonesia.

Hingga saat ini, tradisi Padusan masih dijalankan oleh banyak masyarakat Jawa dengan penuh kesungguhan. Bahkan, tradisi ini mulai menyebar ke berbagai daerah di Indonesia seperti Bali, Lombok, Sumatra, dan Kalimantan.

Namun, dalam perkembangannya, tradisi ini sebagai tradisi menyambut Ramadhan juga mengalami beberapa perubahan. Beberapa daerah mulai mengganti air yang digunakan untuk mandi dengan air yang diisi dengan bahan-bahan herbal seperti jahe, kunyit, atau bunga melati untuk meningkatkan manfaat kesehatan yang diperoleh dari tradisi Padusan.

M RAFI AZHARI | RENO EZA MAHENDRA | UNS.AC.ID
Pilihan editor: Dorong Ekonomi Unggulan, Pita Dukung Program Sembako Murah Heru Budi