Sejarah Kurban, Bermula dari Rebutan Perempuan Dua Anak Adam

Sejumlah warga Pakistan berduyun-duyun mendatangi pasar hewan kurban jelang Idul Adha di Peshawar, Pakistan (11/10). Hari raya yang jatuh pada pekan depan ini sekaligus menandai akhir dari musim ibadah haji tahun ini.  (AP Photo/Mohammad Sajjad)
Sejumlah warga Pakistan berduyun-duyun mendatangi pasar hewan kurban jelang Idul Adha di Peshawar, Pakistan (11/10). Hari raya yang jatuh pada pekan depan ini sekaligus menandai akhir dari musim ibadah haji tahun ini. (AP Photo/Mohammad Sajjad)

TEMPO.CO, Jakarta - Bagi umat Islam, kurban merupakan salah satu ibadah paling tua serta memiliki asal-usul yang panjang. Lumrahnya, sejarah kurban identik dengan kisah zaman nabi Nabi Ibrahim AS saat akan menyembelih putranya, Ismail, sebelum akhirnya diganti dengan seekor kibas (domba) oleh Allah SWT.

Bagi umat Islam, Ibadah kurban yang identik dengan pemotongan hewan kurban ini, dilaksanakan saat Idul Adha atau bertepatan pada 10 Zulhijjah.

Sebelum menyelisik jauh sejarah kurban, ibadah kurban dimaknai dengan sebuah bentuk kepasrahan seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Seperti mengutip dari djpb.kemenkeu.go.id, kurban berasal dari kata bahasa Arab, Qurban yang berarti dekat atau mendekatkan. Kurban disebut juga Udhiyah atau Dhahiyyah yang secara harfiah berarti hewan sembelihan.

Tak hanya itu, berkurban merupakan ungkapan rasa syukur yang ditunjukkan seluruh umat muslim kepada Allah atas segala karunia dan nikmat yang telah diberikan. Perintah tersebut telah digariskan dalam beberapa surat Alquran. Antara lain, dalam surat al-Kautsar (108) ayat 2, surat al-Hajj (22) ayat 34-35 dan ayat 36, serta surat ash-Shaffat ayat 102-107, ditambah lagi dengan penjelasan dari Nabi saw dalam berbagai sabdanya.

Rupanya sejarah kurban bukan hanya berasal dari kisah Ibrahim dan Ismal. Namun jauh sebelum itu, praktik kurban telah hadir sejak zaman Nabi Adam.

Perintah kurban pertama kepada manusia datang kepada Qabil dan Habil, anak Nabi Adam. Melansir dari lama resmi Nahdlatul Ulama, kurban pertama manusia berawal dari pertikaian antara Qabil dan Habil. Dimana dikisahkan kurban dilakukan untuk menentukan siapa yang akan menikahi Iqlima, anak perempuan nabi Adam.

Sebelumnya, merujuk Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an oleh Imam al-Qurthubi menjelaskan, setiap Siti Hawa melahirkan, maka yang keluar adalah dua bayi, satu perempuan dan satunya laki-laki, yang kemudian disebut sebagai ‘saudara satu kandungan’.

Dikisahkan juga bahwa Qabil lahir bersama dengan saudari satu kandung yang bernama Iqlima. Konon, Iqlima terlahir sebagai wanita yang cantik berseri. Sementara Habil lahir dengan saudari kandungan yang bernama Labuda, berparas tidak secantik Iqlima.

Menurut tradisi yang ada kala itu, pernikahan tidak boleh dilakukan oleh saudara satu kandungnya. Seperti dijelaskan dari almasoem.sch.id, Allah SWT mengizinkan Nabi Adam menikahkan anak-anaknya dengan syarat bukan saudara kembarnya. Oleh sebab itu, Qabil harus menikahi Labuda, sementara Habil menikahi Iqlima.

Namun demikian, Qabil yang terlanjur jatuh hati dengan Iqlima menolak perintah ayahnya. Qabil pun tidak ingin menikahi Labuda lantaran tidak secantik Iqlima. Sedangkan Habil mengikuti perintah ayahnya sebagaimana yang disyariatkan Allah SWT. Peristiwa ini termaktub dalam Mafatih al-Ghaib, dimana Qabil berkata, “Saya lebih berhak untuk Iqlima. Dan Habil pun lebih berhak dengan saudari perempuan sekandungnya. Ketentuan ini sebenarnya bukan dari Allah, melainkan hanya akal-akalan (Adam) saja!” (Al-Razi, Mafatih al-Ghaibjuz 11, hal. 204)

Menyikapi penolakan putranya, Nabi Adam pun memerintahkan kedua putranya untuk berkurban. Maka, barang siapa yang kurbannya diterima oleh Allah SWT, dialah yang lebih berhak mendapatkan Iqlima.

Singkat cerita, Qabil yang berprofesi sebagai petani, mempersembahkan kurbannya berupa hasil bumi miliknya. Hanya saja, hasil bumi yang dikeluarkannya begitu buruk. Sedangkan Habil yang bekerja sebagai peternak, mempersembahkan kurban dengan seekor kambing terbaik miliknya.

Setelah meletakkan persembahan kurban dari masing-masing putra Nabi Adam, lalu melesatlah api dari langit dan mengenai qurban milik Habil. Fenomena ini pertanda kurban Habil diterima sedangkan Qabil tidak. Kejadian ini juga dijelaskan oleh mayoritas ahli tafsir yang menyebutkan jika kurban mereka diterima, maka persembahan kurbannya akan disambar oleh api yang turun dari langit (Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, hal. 205)

Melihat ketentuan demikian, Qabil menjadi marah dan ingin membunuh Habil. Selain itu, Qabil juga tetap menolak untuk menikahi Labuda dan tidak dapat menerima apabila Habil menikahi Iqlima. Sedangkan Habil sendiri dengan ketakwaan hatinya berusaha menyadarkan niat buruk dari saudaranya itu.

Alhasil, Qabil yang tidak terima kenyataan itu pun membunuh Habil dengan cara memukul kepalanya. Tragedi ini menjadi kisah pembunuhan pertama sekaligus pelaksanaan kurban pertama dalam Islam. Hal ini kemudian diterangkan oleh Syekh Fakhruddin al-Razi, yang menjelaskan,  “Allah ta’ala menerima kurban Habil dengan menurunkan api untuk menyambar kurban milik Habil. Kemudian Qabil membunuhnya karena merasa dengki.” (Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, hal. 204)

Oleh karena itu, kisah Nabi Adam dan anaknya Qabil dan Habil ini diabadikan Allah dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 27 yang berbunyi, “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.”

Pilihan Editor:

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram http://tempo.co/. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.