Agama, Al-Qur'an dan Sains

Ilustrasi mengaji. TEMPO/Subekti.
Ilustrasi mengaji. TEMPO/Subekti.

PADA masa modern seperti sekarang, kontribusi agama bagi kehidupan umat manusia ditunggu dan dipertanyakan. Apa kontribusi manusia bagi kehidupan manusia? Berbagai persoalan yang dihadapi manusia, seperti peperangan, terorisme, kemiskinan, ketidakadilan, krisis moral, dan lain-lain, mampukah agama menyelesaikan? Agama—melalui umatnya—tidak bisa lagi asyik sendiri dan bersembunyi dari urusan duniawi. Agama harus hadir dan wajib ikut serta menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan. Agama tidak boleh hanya fokus pada isu ukhrawi dan spiritualitas semata. Sebab manusia bukan hanya memiliki unsur ruh saja, tetapi juga fisik-badani dengan segala problemanya.

Gugatan terhadap peran dan fungsi agama bagi kehidupan manusia sudah banyak disuarakan. Dalam Forum Agama G20 (R20), yang diprakarsai Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, agama ditantang untuk andil menciptakan perdamaian, menyelesaikan konflik dan mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan. Agama harus tampil ke depan, merespons dan menawarkan solusi dari berbagai masalah kehidupan manusia agar agama tidak ditinggalkan pemeluknya.

Gugatan ini bukan sekadar soal agama takut ditinggal pemujanya. Juga bukan soal agama dianggap tidak penting bagi manusia. Lebih dari sekadar itu. Sebab agama tetaplah agama, ada pengikutnya atau tidak. Agama sebagai seperangkat falsafah dan pedoman hidup bagi manusia, tetaplah merupakan karya monumental Tuhan. Tuhan tidak akan berkurang ke-Maha-an-Nya, meski tidak ada satu pun manusia yang menyembah kepada-Nya, lewat agama ciptaan-Nya.

Agama bukan tujuan (ghayah), tetapi sarana (washilah) bagi manusia untuk mengenal Tuhan dan para makhluk-Nya. Agama—melalui kitab suci-Nya—mengajarkan kepada manusia, bagaimana menjadi hamba (abid) yang salih dan pengelola bumi (khalifah) yang muslih. Ketika manusia menghamba, agama menyediakan tata cara peribadatan yang rinci. Di luar, ibadahnya tidak sah. Jika merupakan ibadah mahdah, maka bacaan (aqwal) dan perbuatan (af’al) tidak bisa berubah (al-tsabit), kecuali harus sesuai sebagaimana contoh (ta’abbudy/ tauqify). Dalam hal ghairu mahdah, ibadah jenis ini menerima perubahan (al-mutahawwil) berdasarkan ijtihad para ulama. Dalam banyak hal, semua jenis ibadah mesti berdampak pada kehidupan sosial seorang abid.

Selaku khalifah, manusia memiliki tanggung jawab besar untuk memakmurkan bumi. Hanya manusia yang diberikan tugas ini. Manusia diberkahi akal untuk mampu melakukannya. Melalu akal, manusia dapat menguasai sains dan teknologi. Penguasaan terhadap ini mutlak agar peran dan fungsi sebagai khalifah dapat berjalan sempurna.

Bagi seorang muslim, penguasaan sains dan teknologi, akan membuktikan dua hal. Pertama, membuktikan kebenaran firman-firman-Nya. Kedua, membuktikan bahwa agama selalu relevan bagi manusia dan mampu merespons berbagai persoalan kemanusiaan. Dalam konteks ini, akal dan wahyu sama-sama penting. Adakalanya, manusia menemukan pengetahuan akibat pergulatan rasio dengan alam sekitar. Temuan-temuannya, bila teruji mewujud menjadi sunnatullah. Inilah ayat-ayat kauniyyah yang terhampar di muka bumi dan menantang manusia untuk menggunakan pikirannya.
 

Al-Qur’an Sumber Pengetahuan

Terkadang, manusia menerima inspirasi dari kitab suci dalam temuan ilmiahnya. Meski Al-Qur’an bukanlah kitab sains, tetapi ia merupakan sumber ilmu pengetahuan. Ayat saintifik membutuhkan peran akal untuk mengungkapnya. Dalam kitab suci ini selalu ada hikmah sains di baliknya.

Berdasarkan hal ini, semestinya umat Islam terdepan dalam sains dan teknologi. Setidaknya sudah dibuktikan pada masa keemasan Islam (700-1200 M), dunia mengakui keunggulan Islam di bidang sains dan teknologi. Meskipun belakangan, umat Islam lelap dalam tidurnya. Sibuk dengan urusan ukhrawi, tetapi abai ihwal duniawi. Padahal dunia merupakan ladang kehidupan di akhirat (al-dunya mazra’at al-akhirat).

Konon, QS, al-Nahl: 79 dan al-Mulk: 19 merupakan inspirasi penciptaan pesawat terbang. Tetapi penemu pesawat terbanglah bukan muslim. Orville Wright dan Wilbur Wright (Wright Brother) diyakini sebagai penemu pesawat terbang pertama. Perjalanan Isra dan Mikraj (QS, 17:1) yang menempuh ribuan bahkan jutaan mil kurang dari satu malam, merupakan pencetus lahirnya pesawat super canggih. Banyak ayat dan hadits yang menantang umat Islam untuk menelitinya secara ilmiah. Sepatutnya umat Islam sadar bahwa sains harus dikuasai sebagai sarana mentauhidkan dunia dan mendorong agama makin nyata berkontribusi bagi umat manusia. 

Untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan, semangat iqra (membaca biasa) saja tidak cukup.
Wahyu pertama yang turun (QS, al-Alaq: 1-5), sesungguhnya merupakan ajakan literasi ilmiah untuk invensi sains dan teknologi. Asal-usul penciptaan manusia merupakan uraian ilmiah dari berbagai ilmu, biologi, kesehatan dan teknologi. Karena itu, bagi seorang ilmuwan muslim, mengamalkan kewajiban membaca Al-Qur’an, semestinya bukan dalam konteks kuantitas ayatnya (berapa kali mengkhatamkan Al-Qur’an dalam Ramadan ini, misalnya), tetapi yang terpenting adalah kualitas ayat yang dibaca dan diriset secara serius.

Menyatakan Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan merupakan klaim yang berat. Tentu klaim ini harus dibuktikan dalam riset-riset ilmiah dan teknologi terapan sehingga dapat diuji dan akhirnya dinikmati warga dunia. Ramadan sebagai bulan turunnya Al-Qur’an, juga harus dijadikan sebagai bulan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi.
 

‘Agama Sains’

Di awal saya katakan bahwa semua agama mendapat tekanan dan tantangan. Memang, agama menawarkan solusi menghadapi persoalan dan krisis kemanusiaan. Tetapi tidak jarang, umat beragama malah menjadikan agama sebagian bagian dari persoalan. Radikalisme dan terorisme atas nama agama, merupakan bukti bahwa umat beragama menjadi bagian dari persoalan. Bukan agamanya yang salah, tetapi umat beragamalah yang kurang/tidak tepat memahami firman-Nya. Selain agama, filsafat dan isme-isme lain juga berusaha menjelaskan asal-muasal masalah dan jalan keluarnya. 

Jika agama menawarkan solusi dengan pendekatan wahyu (ketuhanan), maka filsafat menggunakan ancangan akal spekulatif. Isme-isme lain mengajukan jawaban dengan kerangka spiritualitas akal budi. Masing-masing pendekatan memiliki ciri khasnya sendiri. Solusi persoalan berdasarkan wahyu, pasti meyakinkan bagi yang percaya, tetapi belum tentu mujarab. Wahyu pasti benar, tetapi belum tentu maksud wahyu dapat ditangkap sepenuhnya oleh penafsirnya. Bahkan kadang-kadang, wahyu hanya diatasnamakan saja, selebihnya merupakan pikiran-pikiran para pembacanya. Jalan keluar persoalan kehidupan manusia yang diproyeksikan filsafat dan isme lainnya, kurang lebih sejenis dengan postulat agama. Abstrak dan berbasis moralitas.

Sains dan teknologi memiliki positioning tangguh dalam menghadapi problem manusia. Pemecahan masalahnya lebih riil dan konkret. Teknologi kipas angin dan AC membuat hidup manusia lebih nyaman saat kepanasan. Problem jarak yang menghambat mobilitas manusia, kini dapat diatasi dengan alat transportasi dan komunikasi canggih. Kecerdasan artifisial (AI) juga memungkinkan hasil lebih cepat dan akurat daripada kerja manusia.

Sains terbukti nyata memudahkan dan membuat nyaman kehidupan manusia. Wajar kalau sebagian manusia menganut ateisme dan menyembah sains dan teknologi mengingat jasa-jasanya bagi kemanusiaan. Sekalipun kita semua merasakan dampak dari penggunaan sains dan teknologi yang merugikan lingkungan hidup.

Jika kita cerdas dan benar dalam memahami, agama sesungguhnya merupakan panduan moral dan solusi yang paling masuk akal bagi manusia. Agama datang dari Dzat Yang Maha Benar. Agama diharapkan menawarkan jalan keluar yang paripurna bagi krisis kemanusiaan. Dengan cara menafsirkan yang benar, Al-Qur’an dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan yang menginspirasi invensi sains dan teknologi. 

Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI