TEMPO.CO, Malang - Istri mantan Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid, melaksanakan safari Ramadan 1444 Hijriah di wilayah Jawa Timur pada 3-6 April 2023.
Di wilayah Malang Raya, Sinta mengawali safari di Markas Kepolisian Resor Malang Kota (Polresta) Rabu malam, 5 April. Safari Ramadan dilanjutkan di Pendapa Agung Kabupaten Malang pada Kamis dini hari, 6 April. Lalu, sorenya Sinta menghadiri acara berbuka puasa bersama di aula Wihara Dhammadipa Arama, Kota Batu. Sinta didampingi Bikkhu/Banthe Jayamedho Thera, kepala wihara.
Acara tersebut dihadiri umat lintas agama. Saat berceramah, Sinta sempat mengajukan sejumlah pertanyaan kepada hadirin. Misalnya, Sinta menanyakan apa tujuan berbuka puasa dan sahur. Dari pertanyaan inilah terungkap alasan Sinta lebih memilih kegiatan sahur bersama daripada buka puasa bersama saat bersafari Ramadan.
Sinta bercerita rutin mengadakan safari Ramadan sejak Gus Dur jadi presiden (20 Oktober 1999-23 Juli 2001) atau sejak sekitar 22 tahun silam. Hampir tiap hari selama Ramadan Sinta berkeliling ke sejumlah tempat untuk mengajak kaum duafa dan marginal untuk berbuka puasa bersama.
Namun, belakangan Sinta menghapus kebiasaan berbuka puasa bersama dan menggantinya dengan kegiatan sahur keliling bersama kaum duafa dan marginal.
“Saya hanya mengubah bentuk kegiatan dan waktunya, bukan berarti saya sama sekali meninggalkan dan atau tidak suka kegiatan berbuka puasa bersama dengan kaum papa dan terpinggirkan,” kata Sinta.
Sinta memberikan alasannya. Berbuka puasa bertujuan untuk membatalkan puasa. Kalau dilakukan bersama banyak orang, sama dengan mengajak mereka membatalkan puasa. Kegiatan buka puasa bersama biasa dilakukan kaum muslim di mana-mana, seperti di masjid, hotel, dan rumah makan. Bahkan, terkadang, yang mengundang berbuka puasa bersama malah tidak berpuasa atau yang diundang yang tidak berpuasa.
Sebaliknya, sahur bertujuan mengajak orang berpuasa. Tapi kegiatan sahur bersama lebih jarang dilakukan dibanding kegiatan berbuka puasa bersama.
“Akhirnya saya pilih sahur keliling untuk mengajak orang berpuasa besok harinya, daripada mengajak orang ramai-ramai membatalkan puasa. Perkara besok setelah sahur bersama mereka puasa atau tidak, bukan urusan saya. Yang penting kan saya sudah mengajak orang berpuasa lewat sahur bersama,” ujar Sinta.
Yang diundang tidak hanya umat muslim
Sinta tidak hanya mengundang umat Islam untuk sahur bersama. Umat Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan kelompok lain pun diundang. Sinta pun tidak membedakan etnis maupun suku orang yang diundang. Semua diundang agar bisa saling menghormati dan bersaudara dalam kemanusiaan walau berbeda dalam keimanan.
Sinta sudah biasa sahur bersama kuli bangunan, abang becak, pengamen, kelompok anak punk, pengamen, dan kamu duafa dan marginal lainnya. Sahurnya bisa dilakukan di alun-alun, terminal, pasar, jembatan, pinggir jalan, bahkan di dalam gereja maupun wihara.
Pelibatan banyak kalangan berbeda ini bertujuan untuk merawat kemajemukan bangsa Indonesia, sekaligus untuk mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa.
“Kemajemukan bangsa kita adalah kenyataan yang wajib kita terima bersama, dijaga dan dirawat sebagai modal berbangsa dan bernegara. Sahur bersama yang saya lakukan adalah salah satu bentuk merawat kemajemukan bangsa agar kita saling menghargai dan menyayangi dalam bingkai kemanusiaan dan NKRI,” ujar Sinta.
Selain menjelaskan alasan mengganti kegiatan berbuka puasa bersama dengan sahur bersama, Sinta juga sempat menanyakan hadirin beragama apa saja. Uniknya, Sinta menanyakan apakah ada hadirin yang berasal dari Ahmadiyah atau beragama Baha’i.
Sinta sempat menjelaskan secara ringkas bahwa agama Baha’i merupakan agama yang diajarkan Baha’ullah dari Persia (Iran) mulai sekitar tahun 1844 dan masuk ke Indonesia sekitar sejak 200 tahun silam. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama secara resmi mengakui keberadaan agama Baha’i pada 2014.
Konteks pertanyaan Sinta adalah bhineka tunggal ika. Dia mengajak agar semua elemen bangsa menjaga persatuan dan kesatuan. Perbedaan suku, agama, dan budaya bukan penghalang bagi bangsa Indonesia untuk bersatu dan maju bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kita harus hidup rukun dan damai, saling menghargai, saling menghormati, dan saling mencintai karena sebetulnya kita semua adalah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa sebagaimana diikrarkan sebagai Sumpa Pemuda (1928),” kata Sinta, yang kemudian mengajak para hadirin menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa.
Beberapa kali Sinta menekankan bahwa kegiatan sahur bersama dan berbuka puasa bersama dia lakukan untuk merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia agar tidak gampang digoyang dan dipecah belah oleh pihak-pihak tertentu.
ABDI PURMONO
Pilihan Editor: Safari Ramadan, Sinta Nuriyah Istri Gus Dur Berharap Agama Tak Disalahgunakan untuk Kepentingan Politik