Alquran Kuno Kulit Kayu Ratusan Tahun di Alor NTT, Ini Kisahnya

Al Quran Kulit Kayu di Kabupaten Alor. kebudayaan.kemdikbud.go.id
Al Quran Kulit Kayu di Kabupaten Alor. kebudayaan.kemdikbud.go.id

TEMPO.CO, Jakarta - Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Kabupaten Alor memiliki daya tariknya tersendiri bagi wisatawan muslim baik yang berasal dari mancanegara maupun wisatawan muslim domestik. Kabupaten Alor menjadi rumah bagi Alquran tertua yang berada di Asia.

Kitab suci tersebut masih tersimpan utuh di sebuah rumah milik keturunan penyebar agama Islam di NTT. Saat ini, kitab suci yang dibawa ke Alor sekitar 1518 tersimpan rapi dalam kotak kaca untuk menghindari sentuhan dari pengunjung agar bentuknya terjaga seperti demikian. 

Adanya Alquran tersebut tidak terlepas dari sejarah penyebaran agama Islam di Alor, menurut tradisi lisan yang dilansir dari penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Rema dan Hedwi Prihatmoko dengan judul “Potensi Arkeologi di Pulau Alor” menyebut bahwa terdapat dua versi cerita mengenai masuknya agama Islam di Alor.

Versi pertama menyebut bahwa penyebaran agama Islam di Alor berasal dari Jawa, Ternate, dan Makassar. Sementara itu, pada versi kedua menyebut bahwa Islam di Alor berasal dari Buton. Namun demikian versi kedua diragukan karena pengaruh Makassar atas Buton yang cukup kuat sehingga perbedaan di antara keduanya terlihat signifikan.

Meskipun demikian, dilansir dari laman kebudayaan.kemendikbud.go.id menyebut bahwa Alquran dengan nama resmi ‘Al-quran Tua’ tersebut dibawa ke Alor Besar oleh Bapak Iang Gogo yang melakukan perantauan bersama dengan keempat saudaranya dengan membawa misi penyebaran agama Islam hingga ke Alor pada masa Kesultanan Baabulah 5, yakni sekitar tahun 1528 hingga 1583. Kelima bersaudara tersebut berlayar dari Ternate hingga Alor dengan menggunakan perahu layar yang menurut riwayat bernama ‘Tuma Ninah’ yang memiliki arti berhenti atau singgah. Adapun kelima saudara tersebut, antara lain.

  • Ilyas Gogo

  • Iang Gogo

  • Djou Gogo

  • Boi Gogo

  • Kimales Gogo

Kelima saudara tersebut untuk pertama kalinya singgah di daratan Alor di Vetelei atau saat ini bernama Tanjung Bota, Desa Alila. Akibat rasa haus yang sudah dirasa dari perjalanan, kelima saudara tersebut memutuskan untuk mencari sumber air di sekitar pantai, tetapi tidak ditemukan adanya sumber air di sekitar pantai tersebut. 

Rasa haus yang semakin menyerang dan tidak ditemukannya sumber mata air di sekitar pantai tersebut menyebabkan Bapak Iang Gogo memutuskan untuk menancapkan tongkatnya ke pasir yang kemudian memancarkan air tawar. Sampai dengan saat ini, sumber mata air tersebut masih ada dan diberi nama mata air Banda, sumber mata air Banda terletak di Bota, Desa Alila, Kecamatan Alor Barat Laut. 

Kemudian perjalanan dilanjutkan hingga kelima saudara tersebut kembali singgah di sebuah tempat yang bernama Tang-tang yang pada saat ini bernama Desa Aimoli. Di tempat tersebut, kelima bersaudara bertemu dengan raja setempat yang bernama Raja Baololong 1.

Dalam pertemuan tersebut, mereka saling bertukar cenderamata dan berjanji akan bertemu kembali di Pusung Rebong yang pada saat itu merupakan pusat Kerajaan Bungabali. Adapun cenderamata tersebut, yakni kelima saudara Gogo memberikan cenderamata berupa nekara dan Raja Baololong memberikan pisau khitan.

Pertemuan mereka di Pusung Rebong menghasilkan kesepakatan bahwa salah satu di antara lima bersaudara Gogo harus tinggal di Kerajaan Bungabali untuk menyebarkan agama Islam. Kesepakatan tersebut dilaksanakan oleh ang Gogo dengan berbekal Alquran kulit kayu dan sebuah pisau khitan, kemudian Iang Gogo menikah dengan seorang putri bangsawan Kerajaan Bungabali bernama Bui Haki. 

Pilihan Editor: Ditemukan Alquran Kuno RatusanTahun di Berbagai daerah di Indonesia, di Mana Saja?

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram http://tempo.co/. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.