Khazanah Ramadan: Sejarah Masjid Agung Banten dengan Warna Lokal, Cina dan Belanda

Reporter

Editor

Dwi Arjanto

Halaman Masjid Agung Banten di Desa Banten Lama, Serang. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Halaman Masjid Agung Banten di Desa Banten Lama, Serang. TEMPO/Dhemas Reviyanto

TEMPO.CO, Jakarta - Masjid Agung Banten merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini penuh dengan nilai sejarah karena merupakan peninggalan Kota Kuno Banten, pusat perdagangan paling makmur di Indonesia ratusan tahun lalu. Masjid ini terletak di Banten Lama, Kota Serang, Provinsi Banten.

Mengutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Masjid Agung Banten dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, anak dari Sunan Gunung Jati, sekitar tahun 1552 hingga 1570. Masjid ini dapat dengan mudah dikenali dari bentuk menaranya yang mirip dengan bentuk mercusuar.

Salah satu ciri khas yang tampak dari masjid ini adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip dengan pagoda Cina. Selain itu ada juga paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti Masjid yang bernama Tiyamah. Paviliun ini berbentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno.

Pengunjung menikmati pemandangan dari atas Menara Masjid Agung Banten. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Pembangunan masjid ini melibatkan tiga arsitek dari negera yang berbeda. Raden Sepat merupakan arsitek utama yang berasal dari Majapahit, karyanya dapat dilihat dari empat tiang penyangga (saka guru) di bagian dalam bangunan masjid. 

Rsden Sepat juga dibantu oleh Tjek Ban Tjut arsitek asal Cina, dan Hendrik Lucaz Cardeel asal Belanda. Atas jasanya, Tjek Ban Tjut dianugerahi gelar bangsawan dari kesultanan dengan nama Pangeran Adiguna. Hendrik Lucaz Cardeel yang kemudian masuk Islam mendapatkan gelar Pangeran Wiraguna. 

Melansir dari laman Satpol PP Provinsi Banten, di masjid ini juga terdapat mimbar kuno yang menegaskan kuatnya nuansa lokal. Mimbar ini disebut merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jon Jang Serang pada 23 Syawal 1323 Hijriah (1903 M) yang tertulis dengan huruf Arab gundul pada lengkungan bagian atas muka mimbar. 

Namun ada juga yang berpendapat bahwa mimbar itu adalah karya Tjek Ban Tjut. Dialah yang membuat atap yang melingkar berbentuk bujur sangkar bertingkat lima, yang menyimbolkan rukun Islam. Sementara dua atap paling atas berbentuk bangunan Cina. 

Di masjid ini, Hendrik Lucaz Cardeel juga membuat menara setinggi 24 meter yang terletak di sebelah timur masjid. Bentuknya segi delapan dengan pintu masuk melengkung pada bagian atas. Konstruksi tangga di masjid ini melingkar seperti spiral, dan memiliki kepala tangga dua tingkat. Menara ini awalnya bukanlah merara azan, melainkan tempat untuk mengintai pelabukan Banten.

Ada juga pemakaman sultan-sultan Banten dan keluarganya di masjid ini. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin.

Makam ini menambah daya tarik Masjid Agung Banten karena masyarakat tidak hanya beribadah, tetapi juga dapat berziarah. Selain itu, masjid ini juga menyediakan perpustakaan, toko, ruang belajar, taman, dan situs bersejarah.

Pilihan editor : Masjid Agung Keraton Surakarta Alami Pelapukan, Gibran: Perlu Penanganan Segera
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.