Pertarungan Simbolik Makmeugang Sambut Ramadhan

pasar daging dadakan di desa Beurawe, kota Banda Aceh diserbu pembeli. Membeli daging jelang Ramadhan memang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat di Aceh, atau biasa disebut Meugang. Tradisi ini memang lekat dengan kebiasaan masyarakat di Aceh mengkonsumsi daging, terutama daging sapi, dan kerbau. Bahkan, tradisi ini sudah ada sejak abad ke 14 atau era kerajaan Aceh Darussalam. ANTARA/Aprizal Rachmad
pasar daging dadakan di desa Beurawe, kota Banda Aceh diserbu pembeli. Membeli daging jelang Ramadhan memang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat di Aceh, atau biasa disebut Meugang. Tradisi ini memang lekat dengan kebiasaan masyarakat di Aceh mengkonsumsi daging, terutama daging sapi, dan kerbau. Bahkan, tradisi ini sudah ada sejak abad ke 14 atau era kerajaan Aceh Darussalam. ANTARA/Aprizal Rachmad

Beberapa hari lalu, saya menghadiri acara makan-makan di daerah Poltangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Itu adalah makmeugang yang diadakan oleh kelompok masyarakat Aceh asal Sigli, Kabupaten Pidie, bernama Awak Geutanyoe Sigli (AGS). Tapi yang hadir tak hanya warga asal Sigli, tapi dari berbagai daerah di Aceh. Termasuk saya, yang berasal dari Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya – pemekaran dari Kabupaten Pidie.

Mereka berkumpul sejak siang, dan beberapa di antaranya saya dengar “nongkrong” hingga malam. Undangan itu beredar di grup orang Aceh di Jabodetabek. Saya mendapat undangan itu di grup Sahabat Kuliner Aceh, komunitas orang Aceh dari berbagai kalangan, dan bermisi mempromosikan kuliner Tanah Rencong. Salah seorang motor AGS, Teuku Munawarsyah, pengusaha wisata yang akrab disapa Pon Nyak, pun salah satu anggota komunitas yang digerakkan pengacara cum penyair J Kamal Farza dan kawan-kawan itu.

Makmeugang adalah tradisi turun-temurun di Aceh. Pada hari makmeugang masyarakat Aceh melakukan potong hewan. Umumnya sapi dan kerbau, dijual di pasar kecamatan. Pasar-pasar pun akan penuh dengan tukang daging. Sejak habis subuh, warga Aceh sudah mulai meramaikan pasar. Namun, ada pula warga yang memotong hewan di kampung masing-masing, secara patungan atau dijual secara eceran. 

Selain membeli daging di pasar, kadang ditambah dengan memotong hewan secara personal semisal ayam, atau berkelompok seperti kambing. Daging-daging itu dimasak dalam aneka variasi. Mulai dari sie reuboh yang tak banyak bumbu, hingga masakan dengan bumbu aneka rupa seperti kari dan kuah beulangong. Makmeugang berlangsung tiga kali setahun, yakni satu-dua hari sebelum memasuki ramadhan, serta sehari sebelum Idul Fitri dan Idul Adha.

Tidak sekedar makan-makan, makmeugang adalah peristiwa simbolik. Seseorang yang sukses secara ekonomi maka berat daging yang mereka beli lebih banyak dibandingkan mereka yang level ekonomi di bawahnya. Ada yang membeli beberapa tumpuk daging campur ditambah beberapa kilogram daging murni. Ada pula yang membeli satu paha. Paling pahit, karena tipis sekali uangnya, membeli satu tumpuk daging campur tulang dan jeroan. 

Itu terlihat jelas ketika mereka membawa pulang dengan sepeda motor atau sepeda. Jadi dari bungkusan daging menunjukkan kelas sosial mereka. Bagi lelaki Aceh, suami, ayah, anak, dan menantu membawa pulang daging itu menjadi “kehormatan”. Bagi seorang laki-laki baru menikah, makin besar bungkusan daging yang ia bawa ke rumah yah tuan (ayah mertua) atau mak tuan (ibu mertua) makin kuat pula pamornya. 

Begitu pula seorang anak, jumlah pemberian daging kepada orang tua menunjukkan level kemakmurannya. Jadi besaran bungkusan daging menunjukkan kekuatan citra diri seseorang. Hal itu tak hanya berlaku bagi mereka yang tinggal di kampung, tapi juga bagi anak dan menantu yang merantau. Mereka biasanya mengirim uang untuk beli daging alias “uang daging”. Boleh jadi seorang anak atau menantu tidak mengirim sesuatu kepada orang tua atau mertua pada momen lain, tapi untuk makmeugang menjadi keharusan.

Tak hanya itu, daging makmeugang juga citra seorang kepala keluarga di depan anak dan istrinya. Bagi seorang ayah atau suami, akan sangat jatuh “martabat” dan tersayat-sayat hatinya jika tidak bisa membeli daging barang setumpuk. Maka itu, seorang kepala rumah tangga akan berupaya sekuat tenaga mendapatkan uang demi makmeugang. Bila perlu menggadaikan atau menjual barang di rumah. Ini hari raya dalam bentuk lain. 

Maka itu, pemberi kerja pun, entah lembaga maupun perorangan, mempunyai kewajiban memberi uang daging atau uang makmeugang kepada karyawannya. Jumlahnya tentu saja tergantung kemampuan masing-masing. Bahkan, tak jarang, sebagian kecil masyarakat menemui pejabat, politikus, atau pengusaha untuk mendapatkan bantuan uang daging itu. Mereka yang bermurah hati memberi uang daging akan naik pamornya.

Menyambut tahun politik semacam ini, tentu saja uang daging akan makin kompleks maknanya. Ia tidak lagi hanya berada di ranah sosial dan kultural, tapi menjelma pula sebagai simbol di dunia politik. Seorang politikus yang royal memberi uang daging tentu akan lebih disanjung ketimbang yang dianggap pelit. Ini bisa menjadi salah satu momentum untuk mengambil hati masyarakat agar merapat padanya dan tak berpaling kepada politikus lain.

Meskipun faktanya tidak selalu begitu. Tidak ada yang bisa memastikan seseorang merapat atau memilih seseorang politikus karena pemberian bersifat insidentil semacam itu. Meskipun itu hanya laku sebagian terkecil orang, tapi cukup bisa membuat politikus serasa diberondong klakson bus. Maka bagi politikus, makmeugang barangkali jadi momentum banyak minum obat sakit kepala. Ia harus memenuhi banyak permintbaan antuan lewat berbagai saluran. Tidak diberi, ia dicari, bahkan dicaci dengan narasi-narasi liar di warung kopi. 

Tak heran dalam kenyataan kadang muncul hal-hal komedikal. Misalnya, menjelang makmeugang politikus atau pejabat tertentu mendadak jadi sulit dihubungi. Boleh jadi barangkali telepon genggamnya tak sengaja kecemplung kuah apam, atau sebab-sebab lain yang masuk akal. Bagi yang berharap bantuan makmeugang, ia bisa dianggap menghindar. Bisa-bisa ia dicoret dari list pertemanan, di dunia nyata maupun media sosial. 

Tentu saja hal berbeda terjadi di perantauan. Orang Aceh tetap mengadakan makmeugang secara personal maupun berkelompok, salah satunya seperti dilakukan komunitas AGS itu. Makmeugang personal upaya merawat tradisi, kenangan, dan obat rindu kampung halaman. Adapun makmeugang komunitas menyimbolkan pereratan pertemanan dan persaudaraan sesama perantau. Sekaligus maaf-maafan sebelum memasuki ramadhan

Seperti siang itu, setelah menikmati aneka hidangan, antara lain kopi Gayo, mie caluek, hingga ayam tangkap, kari kambing, dan kuah beulangong, semua yang hadir berdoa bersama, lalu bersalam-salaman. Semua guyub dalam rasa senasib-sepenanggungan.

*) MUSTAFA ISMAIL, penulis sastra dan pegiat kebudayaan, @moesismail