Ramadan di Afghanistan: Jangankan Berbagi, untuk Kebutuhan Keluarga Sendiri Saja Sulit

Reporter

Editor

Yudono Yanuar

Suasana pasar di Kabul saat Ramadan, 21 Mei, 2020. REUTERS/Mohammad Ismail (File Foto)
Suasana pasar di Kabul saat Ramadan, 21 Mei, 2020. REUTERS/Mohammad Ismail (File Foto)

TEMPO.CO, Jakarta - Ketidakstabilan ekonomi menyebabkan banyak keluarga di Afghanistan tidak bisa membeli makanan. Saat menjalani Ramadan, banyak yang bertahan hidup hanya dengan roti dan teh.

Sejak Taliban menguasai negara itu pada Agustus 2021, Arab News mewartakan, biaya hidup dan harga makanan di Afghanistan meroket. Sementara sebagian besar orang dewasa di negara itu menganggur.

PBB memperkirakan 28 juta orang, atau hampir 70 persen populasi, kini bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup. Tetapi, bahkan sumbangan itu terbatas, sebab organisasi internasional besar telah menghentikan operasinya di Afghanistan.

Saat dunia Muslim merayakan bulan suci, dengan keluarga yang merencanakan hidangan lezat untuk meramaikan santapan sahur dan berbuka puasa, suasana seperti itu tidak ada lagi di rumah-rumah Afghanistan.

Mantan aktivis hak-hak perempuan dan kepala taman kanak-kanak di Kabul, Shamsia Hassanzada, mengatakan, dia dan keluarganya terbiasa menyiapkan buka puasa serta sahur tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk aparat keamanan dan orang-orang di lingkungannya. “Tetapi sekarang kami tidak punya apa-apa, hanya teh hijau dan roti kering,” katanya kepada Arab News, Sabtu, 25 Marety 2023.

“Lima anggota keluarga kami, termasuk saya, dulu bekerja, tetapi sekarang hanya satu orang yang bekerja, dan penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami,” ujarnya menambahkan.

Mohammad Naeem, penduduk Kabul yang pernah bekerja sebagai sopir Kementerian Pertahanan di bawah pemerintahan sebelumnya, senang bahwa sejak penarikan pasukan pimpinan Amerika Serikat dari Afghanistan pada 2021, negara tersebut menjadi lebih aman dan damai. Akan tetapi situasi ekonomi tidak menyisakan banyak ruang untuk bersukacita.

“Dulu, saya punya berbagai jenis makanan saat buka puasa dan sahur, tapi sekarang kami tidak punya makanan,” kata Naeem. “Jika saya makan daging, itu di suatu tempat di badan amal, tetapi saya tidak bisa membelinya di pasar untuk keluarga saya.”

Naeem menambahkan, dalam dua tahun terakhir dia tidak pernah membuat pakaian untuk diri sendiri sebab banyak masalah ekonomi di rumahnya. Pria berusia 71 tahun itu mengaku belum menerima pensiunnya selama beberapa bulan terakhir. 

Puasa dan sedekah adalah salah satu dari lima kewajiban utama Islam. Selama Ramadan, ada fokus yang kuat untuk membantu orang lain. Tetapi, sekarang hal itu hampir tidak mungkin terjadi di Afghanistan ketika keluarga susah payah mengurus diri mereka sendiri.

Karishma Nazari, aktivis hak-hak perempuan, berbagi keresahan yang sama ihwal ketidakmampuan keluarga di Afghanistan saat Ramadan. “Kebanyakan dari kami tidak memiliki apa-apa selain teh hijau,” katanya.

Menurut Nazari, banyak orang kaya di seluruh negeri yang biasanya menyumbang dan membantu keluarga Muslim saat Ramadan, sudah meninggalkan Afghanistan setelah Taliban naik ke tampuk kekuasaan.

Sayed Omar, 35 tahun, yang dulu bekerja untuk pemerintahan sebelumnya di Kabul, telah mengambil pekerjaan serabutan selama dua tahun terakhir untuk menjaga sembilan anggota keluarga tetap bertahan – sebuah tugas yang mempersulit untuk memberikan amal kepada orang lain.

Dia pergi ke kota setiap hari untuk mencari peluang mendapatkan penghasilan tetapi sering pulang dengan tangan kosong.

“Sangat sulit untuk menghidupi keluarga saya,” katanya. “Dulu, kami punya cukup makanan untuk berbuka puasa dan sahur, bahkan kami berbagi makanan dengan tetangga kami, tapi sekarang saya sepenuhnya disibukkan dengan keluarga saya.”

ARAB NEWS

Pilihan Editor Warga Lebanon PIlih Dua Zona Waktu: Zona Muslim atau Zona Kristen?