Ditunggu Setiap Ramadan, Begini Awal Mula Tradisi Pembagian Takjil di Indonesia

Editor

Nurhadi

Sejumlah warga mengambil Takjil untuk berbuka puasa di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta, Kamis 23 Maret 2023. Selama bulan Ramadhan 1444 H, setiap hari pengurus Masjid Jogokariyan menyiapkan 3.000 porsi takjil yang dibagikan gratis kepada masyarakat. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Sejumlah warga mengambil Takjil untuk berbuka puasa di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta, Kamis 23 Maret 2023. Selama bulan Ramadhan 1444 H, setiap hari pengurus Masjid Jogokariyan menyiapkan 3.000 porsi takjil yang dibagikan gratis kepada masyarakat. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

TEMPO.CO, Jakarta - Bulan Ramadan tak hanya identik dengan serangkaian ibadah dan kewajiban yang wajib dijalankan umat muslim. Momentum ini juga tidak terlepas dari beragam tradisi yang berkembang di masyarakat, salah satunya pembagian takjil menjelang berbuka puasa.

Takjil adalah menu hidangan yang bertujuan untuk membatalkan puasa. Itu sebabnya takjil biasanya terdiri dari makanan dan minuman ringan sebelum dilanjutkan dengan hidangan utama.

Takjil kini telah dianggap sebagai salah satu bentuk keistimewaan yang hanya terjadi pada bulan Ramadan. Setiap Ramadan tiba, takjil selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu, bahkan diburu. Takjil juga menjadi daya tarik orang-orang untuk meramaikan masjid. Selain itu, takjil menjadi sarana berbagai kepada lingkungan sekitar. Lantas, bagaimana awal mula tradisi takjil di Indonesia?

Dilansir dari muhammadiyah.or.id, istilah takjil diambil dari hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (Ajjalu) berbuka”. Ajjalu artinya ‘momentum’, ‘tergesa-gesa’, ‘menyegerakan’, atau ‘mempercepat’. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengistilahkan takjil sebagai makanan untuk berbuka puasa yang disegerakan.

Snouck Hurgronje dalam buku Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial mencatat bahwa masyarakat lokal telah mengadakan buka puasa (takjil) di masjid beramai-ramai dengan ie bu peudah atau bubur pedas. Dalam catatan lain yang belum terkonfirmasi kebenarannya, takjil bahkan menjadi medium dakwah Wali Songo untuk melakukan dakwah dan Islamisasi di bumi Nusantara.

Meskipun takjil dikenal sebagai bagian dari perintah Nabi dan diadopsi dalam berbagai budaya yang berbeda, takjil pada awalnya hanya merupakan kebudayaan lokal alih-alih kebudayaan populer. Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan mencatat bahwa Muhammadiyah memiliki peran besar dalam mempopulerkan takjil.

Selain itu, Munir mencatat bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid memopulerkan tradisi mengakhirkan makan sahur menjelang waktu subuh tiba dan menggelar takjil untuk menyegerakan kaum muslimin untuk berbuka. Muhammadiyah dianggap memopulerkan tradisi mengakhiri sahur menjelang waktu subuh dan mengadakan acara takjil untuk menyegerakan umat Islam berbuka puasa.

Pada awalnya, tradisi tersebut menjadi olokan di tengah lingkungan pengamalan agama yang komunal, mistis, dan penuh klenik. Tradisi mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka dianggap sebagai alasan yang diada-adakan mereka yang tidak tahan lapar. Namun perlahan, tawaran ini diikuti dan menjadi arus utama di masyarakat Indonesia.

HAN REVANDA PUTRA

Pilihan Editor: UMY Bagikan Takjil pada Mahasiswa dengan Sistem Drive Thru