5 Tradisi Menyambut Ramadan di Berbagai Belahan Dunia

Sebuah toko menjual sejumlah lentera tradisional Fanous di depan kiosnya di Kairo, Mesir, 24 Mei 2017. Menjelang datangnya bulan Ramadan, warga berbondong memburu lentera tradisional tersebut. REUTERS
Sebuah toko menjual sejumlah lentera tradisional Fanous di depan kiosnya di Kairo, Mesir, 24 Mei 2017. Menjelang datangnya bulan Ramadan, warga berbondong memburu lentera tradisional tersebut. REUTERS

TEMPO.CO, Jakarta - Bulan suci Ramadan segera tiba dalam hitungan hari. Ini merupakan bulan yang spesial bagi umat muslim di seluruh dunia. Setiap negara, terutama dengan populasi mayoritas muslim, memiliki tradisi uniknya masing-masing dalam menyambut Ramadan.

Mengutip The Culture Trip, berikut deretan tradisi unik dalam menyambut dan menjalani bulan Ramadan dari berbagai negara di dunia:

1. Haq al Laila di Uni Emirat Arab

Tradisi ini secara konsep mirip dengan trik-or-treat dari budaya Barat. Haq al laila dilakukan pada 15 Sya'ban, yakni bulan sebelum Ramadhan. Pada hari itu, anak-anak di Uni Emirat Arab akan berkeliaran di lingkungan sekitar mereka dengan mengenakan pakaian cerah dan mengumpulkan permen serta kacang-kacangan dalam tas jinjing yang disebut kharyta 

Itu dilakukan sembari melantunkan lagu-lagu tradisional lokal. Nyanyian Aatona Allah Yutikom, Bait Makkah Yudikum, yang artinya 'Berikan kepada kami dan Allah akan membalasmu dan membantumu mengunjungi Rumah Allah di Mekkah', bergema di jalan-jalan saat anak-anak dengan penuh semangat mengumpulkan hadiah mereka.

Di Uni Emirat Arab, perayaan ini dianggap sebagai bagian integral dari identitas nasional Emirat. Perayaan ini punya nilai kesederhanaan dan menekankan pentingnya ikatan sosial yang kuat dan nilai-nilai kekeluargaan.

2. Aktivitas Nafar di Maroko untuk Mengingatkan Sahur

Selama Ramadhan, warga di Maroko akan melihat nafar, yakni sekelompok town crier yang mengenakan pakaian tradisional gandora, sandal, dan topi, menandai awal fajar dengan melodinya. Nafar menyusuri jalan sembari membunyikan terompet sebagai upaya membangunkan masyarakat untuk sahur.

Tradisi yang menyebar dari Timur Tengah hingga Maroko ini sudah ada sejak abad ketujuh, ketika seorang sahabat Nabi Muhammad berkeliaran di jalan saat fajar menyanyikan doa-doa yang merdu. Ketika musik nafar menyapu seluruh kota, hal itu disambut dengan rasa syukur dan terima kasih.

3. Lentera warna-wani di Mesir

Setiap tahun, orang-orang Mesir menyambut Ramadhan dengan fanous, yakni lentera berwarna-warni yang melambangkan persatuan dan kegembiraan sepanjang bulan suci tersebut. Meskipun lebih bersifat budaya daripada agama, tradisi ini sangat terkait dengan bulan suci Ramadhan dengan membawa makna spiritual.

Kisah asal-usulnya berbeda-beda, tetapi sebuah versi yang paling terkemuka menyebutkan tanggal kelahiran fanous pada suatu malam selama Dinasti Fatimiyah, ketika orang Mesir menyapa Kekhalifahan Al-Muizz li-Dn Allah saat dia tiba di Kairo pada hari pertama Ramadhan. 

Untuk menyediakan pintu masuk yang terang bagi imam, pejabat militer memerintahkan penduduk setempat untuk memegang lilin dengan bingkai kayu di jalan-jalan yang gelap. Seiring waktu, struktur kayu ini berkembang menjadi lentera berpola dan sekarang ditampilkan di seluruh negeri, menyebarkan cahaya selama bulan suci.

Saat ini, fanous sering diintegrasikan ke dalam tradisi lokal lainnya. Misalnya, saat bulan suci, anak-anak berjalan-jalan dengan lentera mereka, bernyanyi riang sambil meminta hadiah dan permen.

4. Bermain permainan tradisional ‘mheibes’ di Irak

Pada malam hari setelah berbuka puasa, orang-orang di Irak berkumpul untuk bermain permainan tradisional bernama mheibes. Kerap dimainkan oleh laki-laki, permainan ini melibatkan dua kelompok yang terdiri dari sekitar 40-250 pemain, yang semuanya bergiliran menyembunyikan mihbes, atau cincin. 

Ini merupakan permainan dengan tema muslihat. Mheibes dimulai dengan pemimpin tim memegang cincin itu namun dengan tangan terbungkus selimut. Anggota lain harus duduk dengan kepalan tangan di pangkuan mereka, saat pemimpin memberikan cincin itu kepada salah satu pemain lain secara rahasia. Lawan harus menentukan siapa dari mereka yang menyembunyikan cincin itu hanya dengan bahasa tubuh.

Meskipun asal mula permainan ini tidak diketahui secara pasti, permainan ini memiliki nilai budaya dan sejarah yang mendalam. Beberapa dekade yang lalu, pemerintah Irak akan menyelenggarakan permainan komunitas, menjamu ratusan peserta, dan menyatukan penduduk setempat dari seluruh negeri. Meskipun praktik yang disokong negara ini dihentikan selama masa perang dan dikhawatirkan hilang, mheibes telah kembali dalam beberapa tahun terakhir karena anggota komunitas individu terus meneruskan tradisi tersebut.

5. Nyanian balada oleh Muslim Roma di Albania

Selama berabad-abad, anggota komunitas Muslim Roma, yang berasal dari Kekaisaran Ottoman, memeriahkan masa awal dan akhir puasa dengan lagu-lagu tradisional. Setiap hari selama bulan Ramadhan, mereka akan berkumpul di jalanan memainkan lodra, drum silinder dua ujung buatan sendiri yang dilapisi kulit domba atau kambing. Keluarga Muslim sering mengundang mereka ke rumah untuk memainkan balada tradisional untuk merayakan berbuka puasa.

HATTA MUARABAGJA

Pilihan Editor: Tradisi Menyambut Ramadan, Dari Potong Rambut sampai Padusan