Adab Menagih Utang Dalam Islam

Ilustrasi utang. Pexels/Karolina Grabowska
Ilustrasi utang. Pexels/Karolina Grabowska

TEMPO.CO, Jakarta - Perkara utang piutang tak jarang menjadi hal yang sensitif. Bahkan sampai terjadi aksi adu mulut, pertengkaran bahkan pembunuhan gara-gara utang. Menagih utang memang dibenarkan, hanya saja, beberapa orang sering lalai terhadap adab dalam menagih utang yang diatur dalam Islam. 

Dari laman nu.or.id dijelaskan bahwa akad utang merupakan akad yang didasari atas rasa belas kasih. Dengan demikian, syariat tidak membenarkan segala macam praktik utang piutang yang memberatkan terhadap pihak yang berutang (muqtaridl) dan menguntungkan pihak yang memberi utang (muqridl). Sebab, logika untung-rugi ini bertentangan dengan asas yang mendasari akad utang, yakni rasa belas kasih.

Bagi orang yang memberi utang untuk menagih utang kepada orang yang ia beri pinjaman hendaklah dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk membayar utangnya. Berbeda halnya ketika seseorang tersebut dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang. Dalam keadaan demikian, si pemberi hutang tidak diperkenankan (haram) untuk menagih utang dan wajib menunggu hingga ia berada dalam kondisi lapang.

Hal ini sesuai dengan surah Al-Baqarah ayat 280 yang artinya:

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Jika orang yang berutang mengaku dalam keadaan tidak mampu, namun orang yang memberi utang tidak mempercayainya, maka dalam keadaan demikian terdapat dua perincian: Jika utangnya berupa harta yang diserahkan padanya, seperti akad penjualan (yang belum dibayar) atau akad utang (qardl), maka wajib bagi orang yang utang untuk membuktikan dengan dua orang saksi bahwa harta yang diserahkan padanya telah tiada.  

Dalam menagih utang, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan sopan, tidak dengan nada mengancam, apalagi sampai menuntut dibayar dengan nominal yang lebih, sebab hal tersebut merupakan tradisi buruk masyarakat jahiliah Arab di zaman dahulu. Penagihan utang ini tidak terpaku pada waktu jatuh tempo pembayaran utang saja, sebab syarat penetapan waktu tempo pembayaran utang ini hanya dibenarkan menurut mazhab malikiyah saja. 

Sedangkan menurut mayoritas ulama, menagih utang dapat dilakukan kapan pun selama orang yang diberi utang (muqtarid) berada dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk membayar utangnya.  Adapun dalam praktiknya, menagih utang hendaknya dilakukan dengan sopan serta mempertimbangkan etika sosial yang berlaku. Hal ini dilakukan agar hubungan antara orang yang memberi utang dan orang yang berutang tetap harmonis. 

Dalam menagih utang, hendaknya diperhatikan beberapa adab. Dilansir dari kemenag.go.id menagih utang hendaknya dilakukan saat sudah jatuh tempo sesuai kesepakatan.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah dijelaskan Imam Ahmad bin Hanbal berkata; Selayaknya pemberi pinjaman untuk menepati janjinya. Kedua, menagih utang dengan cara yang baik. Ketiga, jika yang berutang belum mampu membayar, dianjurkan menunggu sampai mampu atau membebaskan utangnya. Keempat, tidak boleh mengambil keuntungan dari utang, seperti bunga.

NOVITA ANDRIAN

Pilihan Editor: Kapolda Minta Perusahaan Leasing Tak Gunakan Preman Penagih Hutang

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram http://tempo.co/. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.