Ikuti Kami di
TEMPO.CO, Jakarta - Meski saling meminta maaf dan memberi maaf sudah menjadi tradisi, terutama pada saat hari Raya Idul Fitri, namun memaafkan yang sesungguhnya (forgiveness) sejatinya bukan hal mudah. Sebagian besar orang mungkin mengucapkan memberi maaf, tetapi belum memaafkan sepenuhnya. Mengapa?
Dilansir dari psychologytoday.com, evolusi telah membuat manusia menjadi makhluk yang cenderung sulit memaafkan. Sebab, secara naluriah, manusia selalu berusaha bertahan atau menghindari ancaman manusia lain.
Salah satu bentuk pertahanan terhadap ancaman itu adalah menghindari ancaman itu sendiri. Membuka ulang luka atau kesalahan yang ditimbulkan orang lain, secara intrinsik, menimbulkan suatu ancaman. Karena itu, manusia pun cenderung menghindari sehingga sulit untuk memaafkan orang yang telah melukai atau melakukan kesalahan terhadapnya.
Meskipun nyaman secara naluriah, kesulitan memaafkan mendatangkan berbagai masalah bagi manusia. Dilansir dari mayoclinic.org, seseorang yang sulit memaafkan cenderung kesulitan dalam mengelola emosinya.
Mengelola Emosi
Kesulitan mengelola emosi mempengaruhi relasi dengan orang-orang di sekitarnya, seperti teman, keluarga, hingga pasangan. Akibatnya, hubungan orang dengan orang lain menjadi tidak harmonis dan rentan konflik.
Selain relasi dengan orang lain, orang yang kesulitan dalam memaafkan rentan terhadap berbagai penyakit fisik. Dilansir dari hopkinsmedicine.org, orang yang kesulitan memberi maaf berisiko tinggi terkena penyakit jantung.
Risiko ini datang dari kesulitan mengelola emosi, yang ditimbulkan perasaan marah tak henti-henti. Kesulitan mengelola emosi itu membuat seseorang mengalami tekanan darah tinggi, yang menjadi penyebab utama serangan jantung.
Memaafkan atau forgiveness memang sesuatu yang sulit untuk dilakukan secara naluriah. Namun, berbagai risiko yang mungkin timbul apabila seseorang kesulitan meminta maaf membuat seseorang sebaiknya berlapang dada dan memberi maaf.
Baca juga: Sulit Meminta Maaf? Ikuti Cara-Cara Ini
BANGKIT ADHI WIGUNA
