Kolom: Menjadi Manusia Ramadan

Reporter

Petugas membagikan sajian berbuka puasa untuk masyarakat umum di kompleks Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad, 3 April 2022. Masjid Istiqlal menyediakan 3.000 paket makanan untuk umat islam selama bulan suci Ramadhan tahun ini. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Petugas membagikan sajian berbuka puasa untuk masyarakat umum di kompleks Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad, 3 April 2022. Masjid Istiqlal menyediakan 3.000 paket makanan untuk umat islam selama bulan suci Ramadhan tahun ini. ANTARA/Aditya Pradana Putra

AHMAD FAIZ

Alumnus Pondok Pesantren Modern An-Najah

Jurnalis

Setelah sebulan penuh berpuasa Ramadan, tak terasa kini umat Islam sudah berada di hari kemenangan, Idul Fitri, 1 Syawal 1443 Hijriah. Muslim di seluruh dunia bersuka cita menyambut datangnya lebaran dengan menyajikan aneka makanan hingga mengenakan pakaian baru.

Namun kebahagiaan datangnya Idul Fitri jangan sampai menimbulkan anggapan jika Ramadan bulan yang merepotkan karena diwajibkan menahan lapar, haus, dan hawa nafsu sebulan penuh. Idul Fitri harus menjadi momentum untuk meningkatkan ketakwaan dan amal baik.

Ada satu ungkapan Arab yang terkenal “Laisal ied li man labisal jadid, wa lakinal ied li man to'atuhu yazid” yang artinya Idul Fitri bukan untuk mereka yang berpakaian baru, tetapi Idul Fitri untuk mereka yang ketaatannya bertambah.

Di sisi lain, kehadiran Idul Fitri juga membawa kesedihan karena artinya Ramadan telah pergi. Rasa-rasanya baru kemarin kita bergembira menyambut datangnya Ramadan karena tahu ada banyak keutamaan di bulan itu.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa yang menghidupkan Ramadan (dengan puasa atau ibadah) dengan iman dan mengharap pahala dari Allah SWT maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan siapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan iman dan mengharap pahala dari Allah SWT maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kini bulan di mana Allah SWT melipatgandakan setiap amal baik itu telah meninggalkan kita, tak peduli seberapa banyak ibadah yang sudah dikerjakan di tengah kehadirannya. Maka berbahagialah mereka yang bisa memaksimalkan Ramadan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara memperbanyak ibadah.

Meski merasa sudah banyak beribadah, kepergian Ramadan tetaplah patut ditangisi. Karena manusia tidak pernah tahu apakah akan bisa bertemu kembali dengannya di tahun depan.

Kedatangan, kehadiran, dan kepergian Ramadan ini layak dijadikan pelajaran bagi manusia di dalam kehidupan sosialnya (Hablum Minannas) agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik, yakni menjadi Manusia Ramadan. Manusia yang kedatangannya dinantikan oleh orang lain, oleh kerabat, teman, kolega, disambut gembira, kehadirannya memberikan banyak manfaat, dan kepergian kita nanti akan ditangisi oleh orang lain.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad)

Jangan sampai di kehidupan sosial kita menjadi manusia merugikan, yang tidak pernah diharapkan kedatangannya, yang membawa kesusahan bagi orang lain, dan kepergian kita nanti tidak akan ditangisi.

Baca juga: Kolom: Puasa dan Pentas Keadilan