Warga Afghanistan Prihatin di Hari Idul Fitri

Reporter

Umat Muslim Afganistan membaca Al Quran di dalam Masjid saat menjalankan Ibadah Puasa Ramadan di Kabul, Afganistan, 7 Mei 2019. REUTERS/Omar Sobhani
Umat Muslim Afganistan membaca Al Quran di dalam Masjid saat menjalankan Ibadah Puasa Ramadan di Kabul, Afganistan, 7 Mei 2019. REUTERS/Omar Sobhani

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Afghanistan merayakan Idul Fitri pada Minggu, 1 Mei 2022. Pemimpin Taliban Haibatullah Akhunzada mengucapkan selamat kepada rakyat Afghanistan atas "kemenangan, kebebasan dan kesuksesan", saat menghadiri salat Idul Fitri di kota timur Kandahar.

Berbeda dengan Akhunzada, jutaan orang di Afghanistan masih banyak yang menganggap Idul Fitri adalah hari biasa untuk berjuang demi sesuap makanan. Menurut data PBB yang dirujuk Al-Jazeera, lebih dari 90 persen warga Afghanistan menghadapi kekurangan makanan.

Jamal (nama disamarkan), termasuk di antara mereka yang menganggap Idul Fitri hanya membawa sedikit kegembiraan. Pria berusia 38 tahun itu, berjuang setengah mati demi memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya dalam kondisi Afghanistan saat ini.

Dalam merayakan hari raya, Jamal hanya menyiapkan beberapa potong roti dari toko terdekat untuk keluarganya yang terdiri dari 17 anggota keluarga. Sebagian rotinya akan disimpan, untuk kemudian dinikmati dengan makanan apa pun yang mereka terima dari teman dan tetangga yang dermawan.

“Tapi saya tidak berharap kita akan mendapatkan banyak bahkan untuk Idul Fitri. Siapa yang akan memberi saya uang atau makanan? Seluruh kota hidup di bawah kemiskinan. Saya tidak pernah melihat hal seperti itu bahkan di kamp-kamp pengungsi tempat saya dibesarkan di Pakistan,” katanya seperti dikutip dari Aljazeera, Senin, 2 Mei 2022.

Bercerita soal pengalamannya, Jamal menghabiskan sebagian besar bulan Ramadan tahun ini untuk mencari pekerjaan, atau bantuan untuk makan sahur dan buka puasa. Tidak seperti biasanya, dia malah merasa hilang arah tak menangkap makna Ramadan serta Eid dalam ibadahnya tahun ini.

“Setiap Ramadan dan Idul Fitri kami berkumpul bersama keluarga dan masyarakat untuk beribadah. Ramadan dan Idul Fitri selalu tentang persatuan dan pengampunan bagi kami, tetapi tahun ini sebaliknya,” kata Jamal.


Jamal dipecat dari pekerjaannya di pemerintahan setelah Taliban mengambil alih. Hilangnya satu-satunya sumber pendapatan sangat memukul keluarga Jamal, dan mereka lumpuh secara finansial dalam waktu singkat.

“Sejak pengambilalihan Taliban, keluarga saya belum makan lengkap. Dan Ramadhan ini kami berbuka puasa hanya dengan air dan roti. Idul Fitri tidak ada bedanya," katanya.

“Ramadan tahun lalu, selama beberapa hari terakhir, kami berbelanja untuk anak-anak, bahkan mengajak keluarga keluar untuk makan malam buka puasa terakhir. Tapi tahun ini, yang bisa kita lakukan hanyalah tidak mati kelaparan.”

Menurut data PBB yang dibagikan selama Konferensi Afghanistan pada bulan Maret lalu, tingkat ketahanan pangan anjlok lebih dari 24 juta warga Afghanistan atau melampaui setengah populasi negara itu. PBB menyimpulkan, warga Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.

Sanksi Amerika Serikat terhadap Afghanistan yang mempersulit LSM bidang kemanusiaan dalam memberikan bantuan penyelamatan jiwa, menjadi salah satu faktor ketidakstabilan ketahanan pangan. Ketika situasi terus memburuk, beberapa LSM di Afghanistan melaporkan peningkatan jumlah keluarga yang mencari bantuan dan layanan mereka.


“Kami telah menjalankan kampanye selama Ramadhan, sebagian besar untuk sumbangan makanan selama lebih dari lima tahun, dan tahun ini adalah yang terburuk,” kata Abdul Manan Momand, seorang pekerja sosial dari provinsi Nangarhar, yang meminta agar nama organisasinya dirahasiakan.


“Tahun lalu kami menyalurkan bantuan kepada sekitar 3 ribu keluarga hanya di satu provinsi, tetapi tahun ini sejauh ini, kami telah memberikan bantuan kepada lebih dari 12 ribu keluarga,” kata Momand. 

Adapun pasar Afghanistan mengalami inflasi yang tinggi, ditambah dengan pengangguran yang meluas. Kenaikan harga itu menumpuk tingkat inflasi yang tinggi akibat pengambilalihan Taliban.

Sementara itu, sekelompok pakar HAM PBB pada Senin, 2 Mei 2022 meminta pemerintah Amerika Serikat agar membuka blokade aset terhadap bank sentral Afghanistan yang dibekukan menyusul jatuhnya pemerintah sebelumnya pada Agustus 2021.

Keluarga seperti Jamal, yang berpendapatan 15 ribu Afghani ($175) per bulan, telah merasakan dampak terkuat dari kehancuran ekonomi.

Hampir 20 tahun setelah kembali dari kamp pengungsi Pakistan, Jamal sekali lagi menemukan dirinya mencari pekerjaan di jalanan. Dia meminjam sejumlah uang untuk membeli gerobak kecil dengan harapan mendapatkan pekerjaan mendorong barang-barang kecil di pasar.

“Tapi tidak ada barang yang bisa diangkut,” katanya. “Hampir setiap hari saya pulang dengan tangan kosong.”

“Sangat sulit untuk fokus [pada doa], terutama ketika anak-anak menangis meminta makanan. Kadang-kadang saya merasa sangat tidak berdaya, tetapi saya berharap suatu hari nanti Allah akan mendengarkan doa-doa kami,” kata Jamal kepada Al Jazeera.

Sumber: Al Jazeera

Baca juga: Warga Afghanistan Harus Meloakkan Barang untuk Bisa Makan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.