Halalbihalal Lebaran, Bagaimana Asal-usul Silaturahmi Saat Idulfitri itu?

Reporter

Editor

Bram Setiawan

Ilustrasi silaturahmi Idul Fitri di tengah pandemi virus Corona. Shutterstock
Ilustrasi silaturahmi Idul Fitri di tengah pandemi virus Corona. Shutterstock

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 003/2219/SJ tentang pelaksanaan halalbihalal pada Idulfitri 1443 Hijriah atau Lebaran 2022. Surat edaran yang diteken pada 22 April 2022 itu ditujukan kepada gubernur, bupati, dan wali kota seluruh Indonesia.

Surat edaran itu menjelaskan, halalbihalal disesuaikan level PPKM di masing-masing wilayah. Daerah PPKM level 3, jumlah tamu halalbihalal maksimal 50 persen dari kapasitas tempat. Daerah PPKM level 2 maksimal 75 persen. Adapun 100 persen untuk daerah yang masuk kategori level 1.

Berdasarkan surat edaran itu kegiatan halalbihalal yang jumlahnya di atas 100 orang, makanan atau minuman disediakan dalam kemasan yang bisa dibawa. Tak diperbolehkan ada makanan atau minuman yang disajikan di tempat (prasmanan).

Sejarah halal bihalal

Mengutip Suara Muhammadiyah, pendiri Nahdlatul Ulama, KH Wahab Chasbullah sering dinarasikan sebagai pencetus halalbihalal pada 1948. Penyebutan halal bihala diajukan kepada Presiden Sukarno menyikapi suasana pertentangan para elite bangsa.

Banyak sumber mengungkap, halalbihalal sudah ada jauh sebelum itu. Wahab Chasbullah mungkin termasuk yang memopulerkan sebagaimana Sukarno dan Buya Hamka. Ketika pertemuan Sukarno dan Buya Hamka di Istana pada Idulfitri tahun 1963, mereka berjabat tangan. Buya Hamka mengatakan kepada Soekarno, “kita halalbihalal.”

Antropolog UIN Sunan Kalijaga, Mohammad Soehadha mengatakan, beberapa referensi menyebut tradisi ini berakar dari pisowanan yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad 18. Menggunakan istilah Robert Redfield, Mohammad Soehadha mengatakan, halalbihalal bermula dari tradisi besar (great tradition) di keraton yang diserap umat Islam Indonesia yang menjadi keseharian rakyat biasa sebagai tradisi kecil (little tradition).

Ketika itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri usai setelah perayaan Idulfitri.

Halalbihalal juga sudah ditemukan dalam kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, terbitan tahun 1938. Dalam entri huruf A kamus ini memuat kata alal behalal, bermakna acara maaf-memaafkan ketika hari raya.

Mengutip NU Online, riwayat yang diceritakan Kiai Masdar, pada 1948 saat pertengahan Ramadan, Sukarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya. Saat itu, suasana yang penuh perdebatan beda pandangan politik, Wahab menyarankan, agar Sukarno mengadakan silaturahmi, karena sudah mendekati Idulfitri, sebagaimana anjuran dalam sunah.

Saat itu Sukarno menjawab, "Silaturrahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain". Wahab pun menjawab, ketika para elite politilk tak mau bersatu, maka cenderung saling menyalahkan. Sikap saling menyalahkan, kata Wahab, itu dosa.

"Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halalbihalal,” kata Wahab.

Dari saran itu, kemudian Sukarno pada Idulfitri mengundang semua tokoh politik datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi yang diberi judul halalbihalal. Mereka bisa duduk bersama menjadi babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itu halalbihalal gagasan Wahab Chasbullah lekat sebagai tradisi bangsa Indonesia pasca-lebaran hingga kini.

RAHMAT AMIN SIREGAR 

Baca: Jokowi Imbau Tak Ada Makan Minum Saat Halalbihalal

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.