Berburu Takjil Berbuka Puasa di Alun-alun Sragen

Suasana alun-alun Sragen Sabtu malam, 30 April 2022. TEMPO/Abdi Purnomo
Suasana alun-alun Sragen Sabtu malam, 30 April 2022. TEMPO/Abdi Purnomo

TEMPO.CO, Sragen - Tiga pria berpakaian badut menghibur ratusan orang yang menikmati malam minggu di Alun-alun Sasono Langen Putro di pusat Kota Sragen, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah, Sabtu, 30 April 2022.

Area ini menjadi lokasi bagi masyarakat sekitar untuk mencari hiburan atau sekadar makan malam. Situasinya menjadi lebih ramai di malam minggu karena banyak yang berbuka puasa bersama di lokasi ini.  

Mereka mengamen. Seorang di antara mereka menyodorkan kotak sumbangan kepada orang-orang yang duduk-duduk. Mayoritas anak muda. Bukan semua warga asli Sragen, tapi banyak yang datang dari wilayah Kabupaten Karanganyar, 31 kilometer di selatan Sragen atau 45 menit bersepeda motor.

Ketiga badut juga mengajak orang-orang berfoto bersama. Mereka tidak memungut biaya kecuali mengandalkan keikhlasan pengunjung. Rata-rata pengunjung memberikan Rp 1.000 hingga Rp 5 ribu.

Namun, belum sempat Tempo bertanya lebih banyak, mereka sudah berpindah ke area lain. "Kami keliling dulu Mas. Kalau mau nyumbang silakan, seikhlasnya. Makanya pendapatan kami tak menentu. Dapat Rp 50.000 saja sudah syukur alhamdulillah banget ," ujar seseorang dari mereka, dalam logat yang medhok Jawa.

Mereka berlalu dari hadapan Tempo tanpa sempat difoto. Di sisi kiri-kanan alun-alun cukup banyak warung, berpadu dengan aneka mainan hiburan untuk anak-anak, lengkap dengan musiknya, seperti mobil-mobilan, kuda-kudaan, dan skuter-skuteran. Lampu warna-warni menyala bergantian sehingga suasana alun-alun lebih mirip pasar malam.

Begitulah kesan Ahmad Wahyu asal Bekasi, Jawa Barat. Pemuda berusia 23 tahun ini bersantai di alun-alun bersama empat adiknya. Mereka ngobrol sambil menikmati kudapan bola-bola bersaus pedas dan es teh.

"Tiap mau Lebaran kami ke Sragen untuk mengunjungi nenek. Nenek asli Sragen, jadi ya disempatkan ke alun-alun karena di sinilah pusat keramaiannya," kata Ahmad.

Selain mengunjungi alun-alun, Ahmad dan adik-adiknya juga suka mengunjungi Waduk Kedung Ombo untuk berwisata sekaligus mengunjungi kerabat yang tinggal di desa sekitar waduk.

"Kami beberapa kali ke sana. Saya suka monumennya sehingga saya tahu sejarah pembangunan waduk," kata Ahmad, mahasiswa Teknik Industri Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta Selatan.

Waduk Kedungombo berlokasi di perbatasan tiga kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Grobogan, Sragen, dan Boyolali. Waduk seluas 6.576 hektare ini dibangun selama 11 tahun, sejak 1980 hingga diresmikan Presiden Soeharto pada 18 Mei 1991.

Pembangunan Waduk Kedungombo menuai protes banyak kalangan, terutama para penduduk setempat. Namun, proyek nasional tersebut tetap berjalan dan berakibat 37 desa ditenggelamkan dan 5.268 keluarga kehilangan tempat tinggal.

Obrolan kami beralih ke kuliner. Ahmad dan adik-adiknya sangat menyukai Soto Girin. Menurut Ahmad, soto Girin sangat terkenal di Sragen dan jadi warung soto legendaris yang layak disinggahi oleh para pemudik yang melintasi Sragen.

Menurut Ahmad, kelebihan Soto Girin terletak pada kuah beningnya yang kental dan gurih. Bumbu-bumbunya juga meresap. Pengunjung bisa pilih varian daging sapi atau ayam. Harga seporsi pun sangat murah dibandingkan harga semangkok soto di Bekasi.

"Di Bekasi juga ada soto tapi rasanya tak seenak di sini. Kalau saya suka soto dagingnya. Yang jelas harganya murah banget, cuma goceng (Rp 5.000)," kata dia.

Soto Girin berlokasi di Jalan Raya Sukowati, Kecamatan Sragen Wetan. Warung soto ini berdiri sejak 1953, makanya jadi warung soto legendaris dan salah satu ikon kuliner Sragen.

Sekitar 100 meter di belakang Ahmad dan adik-adiknya ada Rizal dan Satria, dua remaja siswa sekolah menengah kejuruan negeri atau SMKN.

Rizal bilang, alun-alun jadi tempat mereka untuk bersantai gratis. Cukup bermodal gorengan dan teh manis, Rizal dan Satria bisa ngobrol berjam-jam.

"Kami sukanya ke sini ya pas malam mingguan begini. Kalau siang kan panas," kata Rizal, 18 tahun, siswa SMK Negeri 1 Gesi.

Rata-rata pengunjung sukanya makan gorengan, setidaknya begitulah amatan Rizal dan Satria. Mereka sendiri beli bola mie yang bentuknya mirip baksos berkuah pedas, seperti yang juga dinikmati Ahmad dan adik-adiknya.

Rizal dan Satria patungan masing-masing Rp 5.000 hingga berjumlah Rp 10.000 untuk beli 10 bola mie. Es tehnya cuma Rp 2.000 seplastik.

"Ya begini Pak suasananya alun-alun kalau malam. Bisa santai gratis tanpa banyak keluar uang, paling cuma beli gorengan dan bayar parkir sepeda motor Rp 2 ribu. Maklumlah kami masih sekolah," kata Rizal, lalu tertawa. "Kami pulangnya jam 11 saja."

Di masa lalunya, Alun-alun Sragen adalah sebuah lapangan tenis bernama Lapangan Sukowati milik PT Kereta Api Indonesia. Luasnya 6.000 meter persegi.

Alun-alun ini berada di tepi Jalan Raya Sukowati, jalan raya utama penghubung Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama menghubungkan Solo dan Surabaya selaku dua kota besar utama. Posisinya menghadap Kantor Bupati Sragen. Lokasi ini juga menjadi tempat singgah bagi pemudik yang melintasi jalur arteri dari Solo menuju Surabaya dan sebaliknya. 

Pada dekade 1970, tepatnya pada masa pemerintahan Bupati Sayid Abbas (1975-1980), Lapangan Sukowati Lapangan diubah jadi alun-alun Kabupaten Sragen dan diberi nama Alun-alun Sasana Langen Putro, yang berarti tempat kegemaran anak.

Alun-alun dilengkapi tempat parkir dan musala. Terdapat dua air mancur melingkar yang dibangun pada 2015 dan hanya diaktifkan pada siang hari supaya pengunjung merasa sejuk dan nyaman sehingga pengunjung betah alun-alun kebanggaan warga Bumi Sukowati, julukan Sragen, tersebut.

ABDI PURMONO

Baca juga: Mudik Lebaran 2022, Ini Deretan Aplikasi yang Wajib Diinstal