Kolom: Memahami Makna Tiga Bagian Ramadan

Reporter

Umat Islam membaca Alquran bersama-sama di Masjid Raya Nurul Islam, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu, 27 April 2022. Kegiatan Khataman Al Quran yang dilakukan 10 hari terakhir di bulan suci Ramadhan tersebut untuk meraih malam kemuliaan (Lailatulqadar) dari Allah SWT dengan memperbanyak amal ibadah yaitu membaca Al Quran, Shalawat, Shalat Tahajud (malam) dan berdzikir. ANTARA/Makna Zaezar
Umat Islam membaca Alquran bersama-sama di Masjid Raya Nurul Islam, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu, 27 April 2022. Kegiatan Khataman Al Quran yang dilakukan 10 hari terakhir di bulan suci Ramadhan tersebut untuk meraih malam kemuliaan (Lailatulqadar) dari Allah SWT dengan memperbanyak amal ibadah yaitu membaca Al Quran, Shalawat, Shalat Tahajud (malam) dan berdzikir. ANTARA/Makna Zaezar

Idham Cholid

LTM-PBNU

Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Ramadan dibagi menjadi tiga bagian.

"Awwaluhu rahmah, wa awsathuhu maghfirah, wa akhiruhu 'itqun minannar; Awal bulan Ramadan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan yang terakhir adalah terbebas dari api neraka." Demikian sabda Nabi Muhammad SAW.

Meskipun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Syu'abul Iman dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih-nya itu dinilai lemah (dla'if), namun menurut para ulama, tetap boleh dijadikan rujukan. Tak lain, untuk kepentingan keutamaan beramal (fadhail a'mal).

Bahwa untuk memotivasi umat agar meningkatkan amal saleh terutama di Ramadan, dalil tersebut sampai saat ini pun masih sering disampaikan oleh para dai dan mubalig kita. Tentu dengan maksud agar bulan Ramadan benar-benar dijadikan ladang amal. Karena di bulan inilah Allah SWT melipatgandakan nilai segala kebaikan yang dilakukan hamba-Nya. Inilah yang juga disebut syahrul mubarak, bulan penuh keberkahan.

Lalu, bagaimana seharusnya kita memahami makna yang terkandung di dalamnya?

Tak sedikit penjelasan tentang itu. Dijelaskan secara umum, Ramadan memang menyimpan keutamaan yang tak ditemukan pada sebelas bulan lainnya.

Di bulan tersebut terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah SWT menjadikan puasa sebagai fardu (kewajiban) dan bangun malam (salat tarawih) sebagai sunah. Barang siapa mendekatkan diri di dalamnya dengan beramal sunah, maka (pahalanya) seperti yang beramal fardu pada bulan lain. Barang siapa beramal fardu di dalamnya, maka (pahalanya) seperti yang beramal tujuh puluh amalan fardu pada bulan lainnya.

Dijelaskan pula inilah bulan kesabaran, dan pahala sabar adalah surga. Inilah bulan kasih sayang, bulan saat rezeki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya, menjadi sebab selamat dari neraka, dan mendapat pahala yang sama dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa yang diberi makanan untuk berbuka.

"Ya Rasulullah, tidak setiap kami mempunyai makanan untuk diberikan kepada orang yang berbuka puasa." Demikian ditanyakan. Maka, Rasulullah pun bersabda: "Allah SWT memberi pahala ini kepada orang yang memberi makanan untuk berbuka puasa, meskipun hanya sebutir kurma, seteguk susu, atau seteguk air."

Itulah penjelasan cukup panjang, menjadi bagian penting dari hadis yang menjelaskan tentang tiga bagian Ramadan.

Penjelasan lain tentang pembagian Ramadan

Namun, ada penjelasan lain tentang pembagian Ramadan tersebut yang lebih khusus lagi, terutama berkaitan dengan "kesiapan" dalam menyambut bulan mulia itu sendiri.

Tiga bagian Ramadan tersebut tak lain merupakan wujud dari tiga golongan umat manusia. Pertama, mereka yang tak lagi memiliki beban dosa. Bagi golongan ini, Ramadan sejak awal menjadi curahan rahmat. Mereka memang benar-benar merindukan Ramadan dan menyambutnya dengan penuh keikhlasan.

Merekalah yang sejak dua bulan sebelumnya sudah menantikan, dengan selalu memanjatkan doa, sebagaimana Nabi SAW ajarkan: "Allahumma bariklana fi Rajaba wa Sya'bana wa ballighna Ramadana; Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan bulan Syakban, pertemukanlah kami dengan Ramadan." (Hr. Imam Baihaqi dari Anas bin Malik).

Bagi mereka, Ramadan adalah bulan untuk memanen amal. Mereka bahkan telah melakukan persiapan dengan berpuasa sunnah sejak Rajab. Jauh-jauh hari mereka telah membersihkan diri, bertobat dari segala dosa, sehingga sampai pada Ramadan mereka benar-benar memasukinya dengan kesiapan prima. Tanpa beban dosa.

Kedua, mereka yang beban dosanya ringan. Bagi golongan ini pintu ampunan (maghfirah) terbuka lebar. Mereka diampuni oleh Allah Swt setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan, hanya berharap rida-Nya.

Itulah janji Allah SWT sebagaimana sabdanya: "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadan dengan iman dan berharap Rida-Nya maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Hr. Imam Bukhari).

Ketiga, mereka yang memang banyak berlumuran dosa. Maka bulan Ramadan menjadi bulan pertaubatan (syahrut taubah). Di bulan inilah saat yang tepat untuk menyucikan diri. Menjadikan Ramadan sebagai bulan pengembalian jati diri atas fitrah kehambaan.

Karena, disadari atau tidak, proses kehidupan dengan segala dinamika dan problematikanya telah menciptakan krisis kemanusian itu sendiri. Ketika identitas diri acapkali hanya dikaitkan dengan jabatan, gelar, harta, dan kepemilikan, di sinilah tugas kehambaan justru terabaikan.

Padahal, sangatlah jelas perintah-Nya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (Qs. Al-Dzariyat: 56). Beribadah, tak lain adalah menjadi hamba yang sebenar-benarnya.

Dalam konteks itulah, Ramadan menjadi ajang pendidikan (syahrut tarbiyah) akan tugas-tugas kehambaan. Dengan kekhusyukan berpuasa dan pelbagai amalan yang dilakukan, maka "nafsu" akan terkendalikan. Sehingga nafsu amarah, yang selalu condong pada keburukan (Qs. Yusuf: 53), tak lagi dominan.

Dengan demikian, yang akan mengedepan adalah sikap introspektif, selalu berhati-hati dan mawas diri. "Dan aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menyesali dirinya sendiri." (Qs. Al-Qiyamah: 2). Inilah yang disebut nafsu lawwamah.

Dan puncaknya, pencapaian ketenangan jiwa atau yang biasa disebut nafsul-muthmainnah. Yakni, jiwa yang telah sanggup menerima cahaya kebenaran Ilahi. Selalu menolak segala keburukan. Sikap dan laku hidupnya senantiasa dihiasi dengan sifat-sifat yang terpuji.

Jiwa-jiwa itulah yang secara khusus mendapatkan panggilan. "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Qs. Al-Fajr: 27-30).

Di situlah makna terbebas dari api neraka ('itqun minannar) bisa dipahami.

Baca juga: Kolom: Puasa dan Pentas Keadilan