Azan Pitu di Masjid Agung Cirebon Sejak Masa Sunan Gunung Jati, ini Maksudnya

Reporter

Tujuh orang muadzin melantunkan Adzan Pitu saat salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat, 25 Desember 2015. Tradisi Adzan Pitu menjadi tradisi unik yang dimulai sejak masa Wali Songo. TEMPO/Prima Mulia
Tujuh orang muadzin melantunkan Adzan Pitu saat salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat, 25 Desember 2015. Tradisi Adzan Pitu menjadi tradisi unik yang dimulai sejak masa Wali Songo. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Jakarta - Jika biasanya azan dikumandangkan oleh satu orang, tapi berbeda dengan salah satu tradisi di kawasan keraton Kesepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat. Lantunan azan tidak dilakukan oleh satu orang melainkan tujuh orang sekaligus setiap azan salat Jumat. Tradisi ini dikenal dengan sebutan azan pitu.

Azan akan dikumandangkan oleh tujuh orang yang mengenakan pakaian khusus yaitu jubah berwarna hijau dan sorban putih. Sedangkan satu dari mereka berjubah putih dan bersorban hitam. Kadang juga ketujuh muazin tersebut mneggunakan jubah dan sorban berwarna putih. Jubah yang telah ditentukan warnanya harus dikenakan oleh para muazin pada saat mengumandangkan azan karena jubah tersebut sebagai pembeda dengan jamaah lainnya.

Meski azan dilakukan dengan tujuh orang sekaligus, lantunan azan tetap terdengar merdu. Panjang pendek nada dan irama azan dari ketujuh muazin terdengar seirama. Mereka juga kompak menjaga keseimbangan tinggi rendahnya nada.

Dikutip dari laman Universitas Gunung Jati, Asal muasal azan pitu ini adalah dimulai sejak zaman Sunan Gunung Jati, Syekh Syarif Hidayatullah. Ketika itu salah satu istrinya terkena penyakit Nyimas Pakungwati, yang juga merupakan putri Mbah Kuwu Cirebon, Pangeran Cakrabuana. Penyakit itu tak hanya menyerang Nyimas tetapi juga menjadi wabah yang menjangkit sejumlah warga di Cirebon di sekitar keraton. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk menghilangkan wabah tersebut namun selalu berujung pada kegagalan. Akhirnya banyak warga yang jatuh sakit dan meninggal.

Syekh Hidayatullah akhirnya mendapat petunjuk dari Allah setelah berdoa. Petunjuk itu menunjukkan bahwa wabah di tanah Caruban atau Cirebon tersebut dapat hilang dengan cara mengumandangkan azan yang dilakukan tujuh orang sekaligus. Melalui petunjuk itu ia berikhtiar dengan bertitah kepada tujuh orang agar mengumandangkan azan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Di salah satu babad Cirebon, wabah penyakit yang menjangkit masyarakat Cirebon adalah hasil kiriman ilmu hitam dari seorang pendekar Menjangan Wulung yang sering berdiam diri di kubah masjid. Ia tidak suka melihat penyiaran ajaran Islam di Cirebon dan membuat wabah yang menyerang para muazin atau orang yang melantunkan azan terkena penyakit hingga meninggal.

Sementara dalam versi cerita lainnya dalam babad Cirebon tulisan Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, saat sunan Gunung Jati memberikan titah kepada tujuh orang tersebut. Lantunan azan pada saat subuh menjadi sebuah ledakan dahsyat yang terdengar dari bagian kubah Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang di bangun pada 1480 Masehi. Ledakan azan itu membuat Menjangan Wulung yang berdiam di kubah masjid menjadi terluka.

Ledakan azan itu membuat kubah Masjid Agung Sang Cipta Rasa terpental hingga ke Banten dan menumpuk di kubah masjid Agung Serang Banten. Itu lah alasan mengapa Masjid Agung Cipta Rasa tidak memiliki kubah, sementara di masjid Agung Serang Banten memiliki dua kubah.

Kini azan pitu terus dilestarikan oleh pemerintah Kota Cirebon dan Keraton Kesepuhan Cirebon. Dahulu azan itu dilakukan tiap salat lima waktu namun sekarang hanya dilakukan pada saat salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

YOLANDA AGNE

Baca: Azan Pitu Tradisi Unik Peninggalan Sunan Kalijaga

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.