Jejak Masjid Agung Solo: Diawali Pemindahan Keraton Kartasura ke Surakarta

Reporter

Editor

Dwi Arjanto

Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengarak gunungan sebelum diperebutkan dalam perayaan Grebeg Maulud di Masjid Agung Solo, Jawa Tengah, 1 Desember 2017. Keraton menghadirkan sebanyak dua pasang Gunungan laki-laki dan perempuan untuk diperebutkan warga dan abdi dalem. ANTARA
Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengarak gunungan sebelum diperebutkan dalam perayaan Grebeg Maulud di Masjid Agung Solo, Jawa Tengah, 1 Desember 2017. Keraton menghadirkan sebanyak dua pasang Gunungan laki-laki dan perempuan untuk diperebutkan warga dan abdi dalem. ANTARA

TEMPO.CO, Solo -Masjid Agung Solo menjadi salah satu masjid yang bersejarah di Kota Solo.

Masjid Agung ini memiliki beberapa kriteria strategis. Di antaranya, terletak dekat Keraton Surakarta sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja, alun-alun sebagai pusat aktivitas masyarakat, dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.

Melansir dari cagarbudaya.kemdikbud.go.id, berdirinya Masjid Agung Surakarta ini tidak terlepas dari pemindahan Keraton Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.

Peristiwa Geger Pecinan menjadi penyebab Keraton Kartasura hancur. Pembangunan keraton baru di Surakarta ini juga diikuti dengan pembangunan masjid yang dirintis oleh Pakubuwana II.

Pada pembangunan Masjid Agung Solo ini sebagian bahan bangunan yang digunakan merupakan bekas Masjid Agung Kartasura yang dibawa oleh Pakubuwana II.

Pada tahun 1757 Masehi, di masa pemerintahan Pakubuwana III pembangunan ini dilanjutkan.  Hal itu diketahui dari prasasti yang terdapat di dinding luar ruang utama masjid dan selesai diperkirakan pada tahun 1768.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Pakubuwono IV dilakukan penambahan bagian masjid dengan menambahkan mustoko berbentuk paku bumi di puncak atap masjid.
Selain itu, pada tahun 1791 juga dilakukan penggantian saka (tiang), dari saka lama persegi yang merupakan saka bawaan dari masjid lama di Kartasura, menjadi saka baru berbentuk bulat.

Kemudian, pada masa Sri Susuhunan Pakubuwono VII (1830-1875 ) didirikan Pawestren (1850), memperluas serambi (kaisar) dengan memakai kolom-kolom bergaya doric, serta dibangun dengan lantai yang lebih rendah. 

Lalu ada juga penggantian mustaka, karena yang lama disambar petir. Pada tahun 1858 di masa Sri Susuhunan Pakubuwono VII juga dibangun pagar tembok keliling masjid.

Pada masa pemerintahan Pakubuwono X (1893-1939 M), dibangun sebuah menara yang  di halaman masjid. Selain itu, sebuah jam istiwa pun dipasang untuk mempermudah menentukan waktu sholat.

Pada tahun 1901, gapura utama yang sudah ada dirombak dan diganti dengan gapura baru bergaya arsitektur Persia. Terakhir, kolam air yang sebelumnya difungsikan untuk bersuci diganti dengan bentuk pancuran atau kran.

Dikutip dari duniamasjid.islamic-center.or.id, bangunan masjid ini mengadopsi arsitektur Masjid Demak, yaitu memiliki atap sirap berumpak tiga yang melambangkan iman, Islam, dan ihsan. Sedangkan, daun pintu, jendela, kusen, dan reng bangunan bersejarah ini kesemuanya terbuat dari kayu jati pilihan.

Ciri khas lain Masjid Agung Solo ini yaitu terdapat ukiran bermotif bunga bersepuh wama keemasan menghiasi mimbar, mihrab, dan maksuroh masjid agung terbesar di Kota Solo ini.

RINDI ARISKA
Baca juga : Pengukuhan KGPAA Mangkunegara X, Ganjar Dukung Keraton Jadi Central Culture