TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR) Rachmah Ida menyatakan salat tarawih tidak bisa dilakukan di dalam dunia metaverse. Ibadah melalui metaverse ini ramai diperbincangkan ketika munculnya kabar ibadah haji virtual di metaverse yang dibuat oleh Pemerintah Arab Saudi.
Majelis Ulama Indonesia menjelaskan bahwa hal itu hanya simulasi bukan benar-benar melaksanakan ibadah haji. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan calon jamaah haji dan calon jamaah umrah untuk mengeksplorasi lokasi-lokasi aktivitas ibadah.
Berkaitan dengan hal itu, Ida sepakat dengan MUI supaya tidak ada salah kaprah pemahaman tentang agama dan perkembangan teknologi. Penggunaan metaverse tidak kompatibel dalam tarawih, sebab di dalamnya itu avatar buatan manusia. Menurutnya, salat bukan soal gerakan saja tetapi melibatkan koneksi antara Tuhan dan hati manusia.
“Artinya pelaksanaannya harus hadir secara fisik karena teknologi sifatnya sekuler. Sementara agama sifatnya individual. Apalagi tarawih berkaitan dengan hukum agama Islam,’’ jelasnya seperti dikutip di laman resmi UNAIR pada Kamis, 14 April 2022.
Dosen yang ahli dalam studi media itu mengungkapkan bahaya jika masyarakat menganggap dunia metaverse sama dengan dunia realita. “Metaverse itu gabungan antara aspek Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), media sosial, dan cryptocurrency. Apa yang ada di metaverse juga sifatnya cyberspace atau dunia maya. Jadi itu hanya dunia virtual bukan realitas yang objektif,’’ tuturnya.
Ida mengatakan dampak dari manusia yang banyak memikirkan dunia teknologi sebagai realitas yang sejati, akan membuat manusia tersebut tidak bisa membuka mata hati. Ida menjelaskan beribadah ada yang dapat menggunakan teknologi dan ada yang tidak bisa.
Dalam tawarih, salat tidak bisa menggunakan teknologi karena menyangkut koneksi langsung antara Tuhan dan manusia. Sedangkan ibadah yang bisa menggunakan teknologi seperti sedekah, mendengarkan ceramah serta lagu nuansa keagamaan.
“Masih bisa jika sebatas sedekah, mendengarkan khutbah, dakwah, dan lagu-lagu qasidah. Apapun dalam perkembangannya kelak, jika konteksnya salat, masyarakat harus menyadari hukum-hukum agama dan gerakan tubuh terutama hati. Jadi itu tidak bisa disatukan dalam teknologi,’’ kata Ida.
Oleh karena itu, pihaknya berharap kepada pengguna dunia realitas digital harus bisa menyadari kembali bahwa teknologi hanya sebagai alat. Hal tersebut bukan berarti segala sesuatu bisa dilakukan dalam teknologi metaverse.
“Metaverse itu dibangun dari sebuah text base atau bangunan text, dengan logika-logika imajinatif. Kalau menurut teorinya Mcluhan, media dan teknologi itu ekstensi dari human being. Dari ciptaan manusia untuk mempermudah manusia,’’ ucap dosen ilmu komunikasi UNAIR itu.
Baca juga:
Peretas Sandworm Rusia Berupaya Melakukan Pemadaman Ketiga di Ukraina
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.