Sejarah Bedug sebagai Seruan Ibadah Salat di Masjid

Reporter

Editor

Nurhadi

Bedug dan kentongan di masjid kuno KH Abdurrahman yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan, Jawa Timur. TEMPO/ISHOMUDDIN
Bedug dan kentongan di masjid kuno KH Abdurrahman yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan, Jawa Timur. TEMPO/ISHOMUDDIN

TEMPO.CO, JakartaDalam tradisi umat Islam, azan menjadi penanda sekaligus panggilan resmi untuk mengajak orang melaksanakan salat berjamaah di masjid. Di Indonesia, ada tradisi unik sebelum azan ini dikumandangkan, yaitu menabuh bedug. Antara azan dan bedug, keduanya merupakan suatu simbol syiar agama terutama sebagai alat komunikasi dalam menyeru ibadah salat. 

Menilik dari latar belakang sejarahnya, tradisi menabuh bedug telah digunakan sejak ribuan tahun lalu. Keberadaannya di Nusantara disinyalir berasal dari bangsa India dan China. Dadan Sujana dalam buku berjudul Identifikasi Kesenian Khas Banten menyebutkan pada abad ke-15 Laksamana Cheng Ho singgah di Semarang dan memberikan hadiah bedug kepada Sang Raja. 

Cerita versi lain seputar asal-usul bedug dijelaskan oleh seorang komandan ekspedisi Belanda, Cornelis de Houtman, dalam catatan perjalanannya, De Eerste Boek. Menurut dia, eksistensi bedug sudah meluas pada abad ke-16. Saat dirinya tiba di Banten, setiap perempatan jalan digambarkan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan menggunakan tongkat pemukul. 

Fungsi daripada genderang tersebut adalah sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian Cornelis de Houtman ini jelas menunjukkan pada keberadaan bedug di Nusantara. Melansir sumber yang sama, keberadaan bedug yang semakin masif kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang diimplementasikan oleh Wali Songo sekitar abad ke-15/16. 

Oleh penganut kepercayaan Kapitayan, bedug menjadi salah satu tambuh untuk sembahyang. Setelah itu, diaplikasikan lebih lanjut oleh Wali Songo sebagai penanda masuknya waktu salat lima waktu. Hal ini dilakukan seperti ditulis Kees van Dijk dalam buku Perubahan Kontur Masjid, mengingat sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara belum memiliki menara untuk mengumandangkan azan. 

Sebagai gantinya, para Wali Songo melengkapi masjid-masjid dengan sebuah genderang besar (bedug) yang dipukul sebelum azan dikumandangkan. Dalam hal ini, tampaknya fungsi bedug bukan semata untuk mengumandangkan azan tetapi sebagai strategi dakwah dari Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga untuk mempercepat penerimaan masyarakat terhadap agama Islam. 

HARIS SETYAWAN 

Baca juga: Penjualan Bedug Meningkat pada Ramadan 2022