Kolom: Lelah, Aku Lelah

Reporter

Seorang jamaah tidur saat menunggu salat ashar di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa, 4 Mei 2021. Pengelola Masjid Istiqlal meniadakan kegiatan itikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan untuk mencegah penyebaran Covid-19. ANTARA/Wahyu Putro A
Seorang jamaah tidur saat menunggu salat ashar di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa, 4 Mei 2021. Pengelola Masjid Istiqlal meniadakan kegiatan itikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan untuk mencegah penyebaran Covid-19. ANTARA/Wahyu Putro A

Qaris Tajudin

Direktur Eksekutif Tempo Institute

Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo

Orang ramai-ramai bicara soal kelelahan batin yang kerap disebut anxiety. Bekerja keras bagai kuda, memang bisa membuat kita burn out dan berakhir pada kelelahan mental yang luar biasa. Tapi itu bukan hal utama. Kerja keras itu biasanya akan terasa ringan jika apa yang kita rencanakan menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan rencana.

Problem utama kelelahan itu sebenarnya adalah tidak cocoknya kerja keras dengan hasil. Tapi, hidup memang penuh kejutan. Seringkali kita merencanakan suatu hal dengan sangat detail, dipersiapkan dengan matang, tapi pada waktunya, semua berantakan.

Ini bukan barang baru dalam kehidupan manusia. Sejak manusia pertama membuat rencana untuk keluar gua, kegagalan ini sudah ada. Untungnya, manusia juga dibekali dengan fleksibilitas, kelenturan untuk melakukan manuver berbeda ketika rencananya terhalangi. Kita diberi karunia untuk fleksibel, menyesuaikan diri dengan pintu lain ketika pintu yang kita tuju tertutup.

Kalau hidup ini penuh kejutan, maka fleksibilitas adalah peredam kejutnya.

Fleksibilitas ini tidak hanya menjadi modal orang untuk berhasil dan sukses, tapi juga menjamin kebahagiaan kita. Orang yang tidak fleksibel, orang yang kaku tidak akan mudah membelokkan arah ketika rencana berubah. Kalaupun berganti rencana, mereka akan tidak senang, gelisah, merasa ada yang kurang, ada yang tidak beres.

Dalam Islam, fleksibilitas ini salah satunya diwakili oleh tawakal. Banyak yang mengartikan tawakal sebagai pasrah. Tentu saja, pemahaman ini salah. Tawakal adalah menerima beragam kemungkinan yang terjadi setelah semua parameter dan usaha dilakukan,

Nabi Muhammad SAW mencontohkannya dengan sangat mudah. Beliau bersabda, “Tawakal itu ada setelah kalian mengikat unta kalian.” Mengikat unta (kalau sekarang mengunci mobil dan menyalakan alarm) adalah usaha yang bisa kita kontrol. Tapi ada hal lain yang tidak bisa kita kontrol: maling canggih yang bisa membobol kunci mobil kita, mantan pendendam yang membaret mobil kita dengan paku tajam.

Tawakal adalah fokus pada apa yang bisa kita kontrol (mengunci mobil) dan cuek dengan apa yang tidak bisa kontrol. Hanya dengan demikian kita bisa hidup bahagia, tidak terbebani oleh hal-hal yang tidak bisa kontrol. Serahkan saja semua yang tidak bisa kita kontrol itu pada Allah.

Fleksibilitas membutuhkan tawakal, seperti dalam surat Ali Imran ayat 159: “Jika kalian sudah bertekad, maka bertawakal-lah kepada Allah.” Tawakal adalah bentuk fleksibilitas kita, setelah terlebih dulu bertekad dan berencana dengan matang.

Saat ini banyak orang yang tidak fleksibel. Akibatnya, saat apa yang dia rencanakan meleset, mereka marah-marah. Sepertinya akan terlambat ke kantor, marah-marah di tengah kemacetan; proyeknya gagal, marah-marah; anak tidak bernilai bagus, marah-marah; jagoannya kalah, marah-marah.

Puasa akan melatih kita untuk bisa menerima perubahan dan kegagalan itu.

Baca juga: 5 Kegiatan Berpahala Besar di Malam Lailatul Qadar