Mengenal Sejarah Bubur Samin, Takjil Incaran Warga Solo

Reporter

Petugas membagikan bubur Samin Banjar kepada masyarakat di Masjid Darussalam, Jayengan, Solo, Jawa Tengah, 17 Mei 2018. Tradisi membagikan Bubur Samin itu dimulai oleh komunitas warga keturunan Banjarmasin di Solo sejak tahun 1930-an. ANTARA/Maulana Surya
Petugas membagikan bubur Samin Banjar kepada masyarakat di Masjid Darussalam, Jayengan, Solo, Jawa Tengah, 17 Mei 2018. Tradisi membagikan Bubur Samin itu dimulai oleh komunitas warga keturunan Banjarmasin di Solo sejak tahun 1930-an. ANTARA/Maulana Surya

TEMPO.CO, JakartaBubur samin adalah sajian kuliner khas Kota Solo. Setiap Ramadan, bubur ini menjadi takji incaran warga Solo dan sekitarnya. Uniknya, bubur samin sebenarnya bukan asli Solo. Lantas, bagaimana sejarahnya bubur samin menjadi makanan khas Solo?

Mengutip situs Pemkot Solo, bubur samin biasa dibagikan secara gratis oleh takmir Masjid Darussalam, Jayengan, Serengan, Solo Jawa Tengah. Bubur samin sendiri terbuat dari beras, rempah, sayuran, dan daging sapi yang menghasilkan cita rasa gurih. Bubur samin menjadi makin istimewa karena dimasak dengan resep khusus, yaitu minyak samin dengan ciri khas warna kekuningan.

Dalam sehari, bubur samin membutuhkan sekitar 45-50 kg beras untuk ratusan porsi. Proses pembuatan bubur ini dalam jumlah banyak membutuhkan tenaga dari beberapa pria dewasa. Hal ini dikarenakan adonan bubur harus terus diaduk agar tidak sampai mengendap di panci.

Adapun pembuatan bubur ini dimulai sejak pagi dengan meracik bumbu-bumbu yang digunakan. Lalu, mulai diolah juru masak andalan masjid sekitar pukul 11.30 hingga 15.00.

Penikmat bubur samin ternyata tidak hanya dari Kota Solo, melainkan warga Soloraya, seperti Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, hingga Klaten. Dilansir dari Antara, warga biasanya berdiri berjajar hingga di luar halaman sambil menenteng tempat makan untuk mewadahi bubur samin. Pada Ramadan tahun ini, tradisi pembagian bubur samin kembali dilaksanakan setelah absen selama dua tahun karena pandemi COVID-19.

Sejarah bubur samin: dimulai oleh perantau

Mengutip Antara, tradisi pembagian bubur samin pada bulan Ramadan dimulai oleh para perantau asal Banjar, Kalimantan Selatan, di wilayah Solo sekitar 1980. 

Para perantau Banjar yang tinggal di daerah Jayengan membangun langgar yang kemudian menjadi Masjid Darussalam. Kerinduan terhadap kampung halaman mendorong para perantau dari Banjar untuk membuat bubur samin bersama guna memperkuat tali persaudaraan masyarakat Banjar di perantauan.

Kebiasaan tersebut kemudian berkembang menjadi tradisi pembagian bubur samin gratis kepada warga sekitar di bulan Ramadan. Warga dari daerah lain pun menjadi penasaran dan ingin mencicipi bubur khas Banjar yang beraroma sedap itu.

Tradisi pembagian bubur pun tetap dipertahankan setelah warga asal Banjar di Solo mulai berpencar untuk mencari rezeki ke daerah sekitar, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Sukoharjo, dan Semarang.

Kalaupun tidak bisa selalu ikut masak atau mencici bubur samin secara langsung, perantau asal Banjar maupun keturunannya akan menyumbangkan dana untuk kegiatan pembagian bubur samin di Masjid Darussalam.

Nurcholis, Takmir Masjid Darussalam pun berharap tradisi pembagian bubur samin asal Banjar ini bisa lestari. Terlebih, sekarang tradisi itu sudah menjadi salah satu daya tarik pada bulan Ramadan. “Kami hanya ingin berbagi dengan masyarakat,” kata Nurcholis, seperti dikutip dari Antara.

Kini tradisi  pembagian bubur samin bukan hanya menjadi pengobat rindu para perantau terhadap kampung halaman saat Ramadan, tetapi juga menjadi simbol toleransi antarumat beragama dan ajang berbagi dengan warga sekitar.

M. RIZQI AKBAR 

Baca: Bubur Samin Hidangan Buka Puasa Pedagang di Perantauan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.