Pengungsi Suriah Jalani Ramadan di Tengah Kenaikan Harga Pangan

Reporter

Tenda menutupi gua bawah tanah yang menjadi tempat penampungan pengungsi Suriah di Om al-Seer, Idlib, Suriah, 26 Desember 2015. REUTERS/Khalil Ashawi
Tenda menutupi gua bawah tanah yang menjadi tempat penampungan pengungsi Suriah di Om al-Seer, Idlib, Suriah, 26 Desember 2015. REUTERS/Khalil Ashawi

TEMPO.CO, Jakarta - Pengungsi Suriah, yang masih terlantar, menjalani ramadan di kamp-kamp di Provinsi Idlib jauh dari tempat tinggal mereka. Perang Suriah antara rezim Presiden Bashar al-Assad melawan kelompok-kelompok radikal di negara itu, yang sudah berlangsung selama 11 tahun, telah membuat masyarakat Suriah terpencar dan kehilangan tempat tinggal.   

Ramadan adalah bulan ke-9 dalam kalender Islam. Para pengungsi Suriah menjalani puasa ramadan dalam kondisi kesulitan keuangan sebagai dampak dari perang sipil Suriah.

Anak-anak pengungsi Suriah menaiki kendaraan untuk kembali ke rumah mereka, karena takut akan wabah penyakit virus corona (COVID-19) di kamp-kamp pengungsian yang padat, di Dayr Ballut, Suriah, 11 April 2020. Sekitar satu juta warga Suriah melarikan diri dari Idlib dan pedesaan akibat perang saudara selama sembilan tahun. REUTERS/Khalil Ashawi

Bukan hanya itu, ramadan pada tahun ini, Suriah dihadapkan pada kenaikan harga-harga bahan makanan dan tingginya angka pengangguran. Derita semakin berlapis saat para pengungsi Suriah merindukan rumah mereka, yang ditinggalkan akibat serangan yang tiada henti.

Warga sipil Suriah, yang menjadi pengungsi di kamp-kamp di Idlib, menanti bantuan agar mereka bisa berbuka puasa. Cemile al Ala, pengungsi di kamp Azraq yang ada di wilayah utara Idlib, mengatakan tidak ada lowongan pekerjaan sehingga banyak keluarga di kawasan itu menderita karena serba kekurangan.    

“Tadinya saya punya banyak rumah di desa tempat tinggal saya. Saya dulu punya uang dan bebas makan apa saja yang saya inginkan. Namun sekarang, saya tak punya apa-apa,” kata al Ala, 64 tahun, ibu dengan enam anak.

Al Ala menceritakan dia tak pernah meninggalkan tempatnya berlindung saat ini karena serangan tiada henti masih saja terjadi.

“Ramadan di Idlib, tidak sama rasanya dengan ramadan di desa tempat saya tinggal dulu. Sulit untuk tinggal di sini (kamp pengungsi). Banyak keluarga di sini tak punya cukup uang untuk membeli makanan. Kami tak punya uang untuk belanja,” kata Al Ala.   

Fatima Omar, warga sipil Suriah yang mengungsi ke Idlib, mengatakan ramadan di desanya dulu dan di kamp pengungsian jelas terasa bedanya. Dulu, dia menghabiskan ramadan bersama keluarga besarnya. Di kamp pengungsian, juga sulit untuk mencari pekerjaan.

Ramadan telah tiba. Semuanya serba mahal, masyarakat hampir tak bisa membeli sepotong roti,” ujarnya.

Sumber: aa.com 

Baca juga: Ini Perubahan Waktu Selama Ramadhan di Uni Emirat Arab

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.