Kolom: Ramadan itu Harus Hening dan Tenang

Reporter

Umat Islam membaca Al Quran di kompleks Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu 3 April 2022. Membaca Al Quran (tadarus)  dilakukan umat Islam untuk meningkatkan ibadah selama bulan suci Ramadan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Umat Islam membaca Al Quran di kompleks Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu 3 April 2022. Membaca Al Quran (tadarus) dilakukan umat Islam untuk meningkatkan ibadah selama bulan suci Ramadan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Qaris Tajudin

Direktur Eksekutif Tempo Institute

Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo

Di Indonesia dan di sejumlah tempat lain di dunia, Ramadan disambut dengan gegap gempita. Ada pawai anak-anak menyambut Ramadan, acara buka bersama yang riuh, tarawih, sahur di jalan beramai-ramai, pengeras suara masjid yang disetel lebih kencang lebih sering berbunyi, bahkan itikaf yang seharusnya menjadi ajang kontemplasi, kini riuh. Belum lagi acara televisi dan beragam event lainnya. Intinya, Ramadan adalah pesta dan kemeriahan.

Tentu, kita bisa berbaik sangka dan menganggap itu semua bagian dari kegembiraan menyambut bulan suci Ramadan. Tapi, saya pribadi, lebih senang memaknai Ramadan sebagai sebuah kesempatan untuk masuk dalam keheningan dan ketenangan, berbicara dengan diri dan Tuhan dalam kesyahduan, melatih kepekaan dan kehalusan perasaan. Menurut saya, keheningan itulah inti dari puasa.

Ada sejumlah alasan yang mendukung pendapat ini. Pertama, puasa Ramadan adalah napak tilas dari perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW di Gua Hira menjelang turunnya wahyu pertama pada pertengahan Ramadan. Saat itu beliau duduk dalam diam, jauh dari keriuhan para penduduk dan penziarah Mekkah, memandang cakrawala yang tenang.

Dalam ketenangan itulah, Nabi SAW menggapai puncak spiritualitas, membuatnya berada pada frekuensi yang memungkinkan Ruh Suci datang membawa kebanaran. Hal ini tidak mungkin terjadi saat pikiran dan mental kita berada dalam keriuhan.

Kedua, kalau kita perhatikan, semua ibadah di bulan Ramadan dibuat dengan maksud agar kita lebih banyak berdiam untuk melakukan taamul. Dalam bahasa modernya, taamul ini diterjemahkan sebagai meditasi. Banyak membaca Al-Quran, puasa, memperbanyak dzikir, sampai itikaf, semuanya adalah ibadah yang dirancang agar kita masuk ke dalam gua dan mengurangi aktivitas fisik. Ini persis seperti beruang yang berhibernasi. Bahkan Nabi SAW berkata bahwa tidurnya orang puasa itu ibadah.

Mungkin ada yang berkata, “Loh, bukannya ada tarawih?” Ya, betul. Tapi, tarawih di masa Nabi SAW dilakukan sendiri-sendiri dalam gelap malam yang sunyi. Baru setelah Nabi SAW wafat, para sahabat dan tabi’in melakukan tarawih secara berjamaah. Artinya, asal muasal tarawih sendiri dirancang untuk ibadah dalam kesunyian.

Tentu, kesunyian yang dimaksud di sini bukan hanya secara fisik, tapi juga kesunyian digital. Untuk bisa mendapatkan makna puasa dan ketenangan batin tadi, mau tidak mau kita juga harus mengurangi interaksi kita di dunia maya. Tentu ini bukan masalah halal haram, karena tidak ada larangan scrolling Twitter saat Ramadan.

Berselancar di media sosial itu melelahkan, karena kita harus melompat dari satu informasi ke informasi lainnya, berpindah dari satu emosi ke emosi lainnya dengan cepat, kita berburu kecepatan. Seperti tubuh yang capek, jiwa kita juga butuh istirahat. Detox. Puasa adalah waktunya kita menurunkan layar HP, tutup mata, dan dalam keheningan itu bicaralah dengan diri sendiri. Kita terlalu banyak bicara dan mendengarkan orang lain. Ramadan adalah waktunya kita bicara dan mendengarkan diri sendiri.

Baca juga: Kolom: Ramadan dan Kesadaran