Kolom: Ramadan dan Kesadaran

Reporter

Umat Muslim melakukan tadarus saat hari pertama puasa bulan Ramadhan 1443 H di Masjid Raya Baiturrahmah, Denpasar, Bali, Minggu 3 April 2022. Umat Muslim di kawasan itu memanfaatkan waktu menunggu berbuka puasa dengan menjalankan ibadah di masjid seperti tadarus atau membaca kitab suci Al Quran. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Umat Muslim melakukan tadarus saat hari pertama puasa bulan Ramadhan 1443 H di Masjid Raya Baiturrahmah, Denpasar, Bali, Minggu 3 April 2022. Umat Muslim di kawasan itu memanfaatkan waktu menunggu berbuka puasa dengan menjalankan ibadah di masjid seperti tadarus atau membaca kitab suci Al Quran. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Qaris Tajudin

Direktur Eksekutif Tempo Institute

Setiap masuk Ramadan kita pasti sering mendengar para penceramah mengutip ayat 183 dari surat Al-Baqarah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa”.

Meski sangat populer, bahkan banyak di antara kita yang menghapalnya, tapi ada satu kata di sana yang bagi kebanyakan kita, maknanya samar-samar, yaitu kata bertakwa. Jika kita membaca terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia, kita akan menyadari bahwa sebagian besar penerjemah tidak mengartikan atau menerjemahkan kata takwa.

Tentu saja, penerjemahan seperti ayat yang saya kutip di awal tulisan ini terjadi karena kata takwa telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Masalahnya kemudian adalah, kita tidak benar-benar mengetahui apa arti takwa itu. Akhirnya, banyak yang menyamakan takwa dengan taat atau saleh. Muttaqin yang diterjemahkan sebagai orang yang bertakwa juga kerap disamakan dengan mukminin atau orang yang beriman.

Tentu saja ada irisan yang sama di antara saleh, iman, dan takwa, tapi tentu ada perbedaannya hingga Allah SWT memakai kata khusus di tempat yang berbeda. Untungnya, terjemahan dalam bahasa lain, seperti bahasa Inggris memberikan pengertian yang lebih jelas.

Di bawah ini saya kutipkan dua versi terjemahan bahasa Inggris dari Dr. Mustafa Khattab dan Saheeh International untuk ayat ke-2 dari surat Al-Baqarah:

This is the Book! There is no doubt about it1—a guide for those mindful of Allah,

— Dr. Mustafa Khattab, the Clear Quran

This is the Book about which there is no doubt, a guidance for those conscious of Allah1 -

— Saheeh International

Di keduanya, takwa diterjemahkan sebagai mindfulness dan consciousness. Atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kesadaran.

Ini sejalan dengan pernyataan sahabat Nabi SAW, Ubay bin Kaab ketika ditanya sahabat lainnya (di antaranya Umar bin Khattab) tentang takwa. Dia jawab: “Takwa itu seperti berjalan di jalan penuh duri.”

Banyak yang mengartikannya sebagai hati-hati. Tapi, lebih tepat berjalan dengan kesadaran penuh. Saya duga, para penerjemah ke bahasa Inggris itu menerjemahkan takwa sebagai kesadaran (mindfulness) karena riwayat ini.

Apa yang disadari? Hal pertama, tentu adalah kesadaran akan Allah SWT. Menyadari Allah berbeda dengan mengimani (mempercayai) Allah. Menyadari bukan hanya tahu dan yakin, tapi juga merasakan dan ingat akan kehadiran Allah SWT.

Kita merasakan bahwa Allah bersama kita, membimbing kita, menyayangi kita, hadir sebagai penolong dan pelindung kita.

Hal kedua yang disadari adalah diri kita sendiri. Kita sadar akan posisi kita di dunia ini, menyadari betapa kecilnya kita dalam alam semesta yang sangat luas. Hal ketiga yang disadari adalah lingkungan sekitar kita. Kita sadar bahwa kita harus mensyukuri lingkungan sekitar, menjaga kelestariannya, dan menggunakannya dengan penuh kesadaran.

Baca juga: Kolom: Ramadan dan Kebahagiaan