Kolom: Ramadan dan Kebahagiaan

Reporter

Sejumlah anak  mengikuti pawai menyambut bulan Ramadhan di Jalan Pemancar Raya, Depok, Jawa Barat, Minggu 27 Maret 2022.. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan semangat berpuasa pada anak jelang bulan Ramadhan. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Sejumlah anak mengikuti pawai menyambut bulan Ramadhan di Jalan Pemancar Raya, Depok, Jawa Barat, Minggu 27 Maret 2022.. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan semangat berpuasa pada anak jelang bulan Ramadhan. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Qaris Tajudin

Direktur Eksekutif Tempo Institute

Sebelum memasuki bulan Ramadan, umat Islam berdoa, “Allahumma baarik lana fi Rajab wa Sya’ban wa ballighna Ramadan.” Artinya, “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami di bulan Ramadan.”

Kata berkah sering dipakai dalam praktik keagamaan. Bukan hanya di kalangan umat Islam, tapi juga di umat lainnya. Banyak yang mengartikan berkah sebagai blessing. Bahkan ada yang mengartikannya sebagai berpahala.

Mungkin ada benarnya, tapi kalau kita telusuri arti katanya lebih jauh, maka kita akan mendapati terjemahan yang lebih sederhana dan cocok. Sesuai dengan Mu'jam Ar-Raid, berkah memiliki dua arti: kebahagiaan (sa'adah) dan tambahan.

Dari para penceramah kita kerap mendengar terjemahan berkah dengan arti kedua, yaitu tambahan. Artinya, kalau kita berkata “rezeki yang berkah”, maka maknanya adalah rezeki yang ditambah. Arti “ditambah” ini tampaknya lebih disukai.

Kenapa kita lebih senang pakai arti “ditambah”? Karena itu yang kita mau: cuan terus. Atau, rezeki yang bertambah itu lebih nyata, lebih terlihat secara fisik. Sedangkan untuk arti pertama, yaitu kebahagiaan, tampaknya bagi banyak orang merupakan konsep yang susah diterjemahkan.

Padahal, mengartikan rezeki yang berkah sebagai “rezeki yang membahagiakan” jauh lebih tepat. Artinya, bukan pada sedikit banyaknya, tapi pada apakah rezeki itu memberikan kebahagiaan kepada kita.

Berkah bisa hadir bersama dengan rezeki, tapi bisa hadir dengan yang lain. Misalnya, ilmu, hubungan yang baik dengan sekitar, keluarga yang damai. Juga bisa hadir bersama Ramadan. Karenanya, di sejumlah negara, saat mengakhiri puasa Ramadan, mereka berucap: “Mubarak,” yang artinya, diberkati atau dibahagiakan.

Atau, kebahagiaan itu juga bisa disadari bahkan hanya lewat nafas yang kita hirup. Memperhatikan nafas yang masuk dan keluar bisa mengubah proses bernafas yang biasa-biasa aja jadi proses yang membahagiakan.

Jadi, berkah (kebahagiaan) itu gak tergantung dari apa yang kita miliki, tapi pada bagaimana kita menyikapinya. Semua yang Allah SWT berikan bisa jadi berkah. Dan semua yang tidak Allah berikan juga bisa jadi berkah.

Tapi, apa sih konsep kebahagiaan dalam Islam? Bahagia dalam Islam bukan artinya lonjakan perasaan karena mendapatkan sesuatu. Justru sebaliknya, bahagia ada saat kita tidak memiliki lonjakan emosi (tidak marah, tidak sedih, tidak takut, tidak terlalu excited, dll). Dalam Islam disebut muthmainnah (tenang dan damai).

Konsep ketenangan dan kedamaian yang membahagiakan sebenarnya Rasulullah SAW siratkan dalam pemberian salam: Assalamualaikum wa Rahmat-ullah wa Barakatu-Hu.

Ada tiga elemen di dalamnya: Salam (kedamaian), Rahmah (Kasih), dan Barakah (Kebahagiaan). Urutannya, damaikan diri, mendapatkan dan memberikan kasih sayang, baru kita bahagia dengan sendirinya.

Baca juga: Kolom Ramadan: Puasa Dalam Lanskap Bangunan Islam