Tips Terhindar dari Daging Sapi Gelonggongan Menjelang Ramadan

Reporter

Editor

Devy Ernis

Pedagang daging sapi menunggu pembeli di lapaknya di Pasar Mester Jatinegara, Jakarta, Senin, 7 Maret 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Pedagang daging sapi menunggu pembeli di lapaknya di Pasar Mester Jatinegara, Jakarta, Senin, 7 Maret 2022. TEMPO/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta - Meningkatnya permintaan protein hewani saat Ramadan berakibat pada perubahan harga daging di pasaran karena minimnya stok. Tak sedikit oknum yang memanfaatkan itu dengan menjual daging sapi gelonggongan.

Guru besar Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (UNAIR) Mustofa Helmi Effendi mengatakan penyediaan daging gelonggongan merupakan salah satu bentuk pelanggaran animal welfare. Jika tidak ada tindakan tegas, hal itu akan sangat merugikan masyarakat.

Dalam penggelonggongan daging, oknum akan memasukkan air sebanyak-banyaknya pada sapi hidup. Itu bermaksud untuk menambah berat daging saat penjualan. Sapi yang diberi air banyak akan membuat hewan itu menjadi kesulitan berdiri secara normal.

“Sapi dengan kondisi sulit berdiri akibat penekanan sistem otot hingga hanya bisa terbaring. Inilah yang menjadi alibi peternak untuk segera menyembelih hewannya,” ujarnya.

Ciri-Ciri Daging Gelonggongan

Masyarakat dapat mengetahui ciri daging gelonggongan dengan melihatnya secara fisik melalui rembesan air dari daging yang cukup banyak. Jika disentuh, tekstur daging terasa lebih lembek dan warnanya lebih pucat.

“Biasanya dalam 1 kilogram daging sapi gelonggongan, terdapat kandungan 300 gram air di dalamnya. Hal ini sangat merugikan konsumen,” ujar Helmi.

Jika ingin membeli daging yang aman, masyarakat hendaknya memilih daging yang dijual dengan kondisi tergantung. “Masyarakat harus mengetahui fungsi utama teknik hanging. Dengan posisi daging tergantung, air akan keluar dari daging,” katanya.

Dia mengatakan tak perlu pusing dan khawatir bila memang belum bisa membedakan secara langsung. Masyarakat, kata dia, bisa membeli daging di supermarket yang sudah terjamin kualitasnya. Namun, jika terpaksa membeli di pasar tradisional, Hemli mengatakan masyarakat perlu menghindari pembelian daging yang diletakkan di meja.

Diperlukan Edukasi Masyarakat

Helmi mengatakan daging gelonggongan merupakan bentuk cheating meat yang masuk dalam kategori tindak pidana. Pemerintah, kata dia, mesti menindak oknumnya secara hukum. Namun, hingga saat ini, masih ada kendala secara teknis terkait indikasi pasti dalam penggelonggongan sapi.

Dia menyarankan agar ke depan perlu ada pelatihan pada peternak, dokter muda, bahkan masyarakat dalam mengidentifikasi kondisi daging sapi yang dilakukan penggelonggongan. Sehingga, menurut Helmi, akan ada indikator pasti yang dapat ditetapkan secara hukum sebagai tindak pidana upaya penggelonggongan sapi.

Helmi mengatakan stakeholder juga harus terus memberikan edukasi kepada masyarakat agar masyarakat dapat terhindar dari kerugian pembelian daging gelonggongan. “Tugas akademisi adalah harus melakukan sosialisasi melalui KEI, yakni komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat dalam mengetahui fungsi teknik hanging (penggantungan daging),” katanya.

Lebih lanjut, wakil dekan III FKH UNAIR itu berpesan agar masyarakat cerdas dan tak takut membeli daging sapi. Sebab, jika masayarakat takut, khawatirnya akan semakin banyak peredaran daging gelonggongan di pasaran.

Baca juga: Cerita Dosen UNAIR Raih Predikat Peneliti Dunia, Sempat Dianggap Bodoh

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.