Ingin Membayar Utang Puasa Ramadan? Berikut Niat dan Tata Caranya

Reporter

Editor

Dwi Arjanto

Ilustrasi puasa ramadan. TEMPO/Subekti
Ilustrasi puasa ramadan. TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Jakarta -Hukum puasa Ramadan adalah wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat untuk menjalankannya. Namun, ada beberapa golongan yang memperoleh keringanan tidak menjalankan puasa Ramadan, seperti ibu hamil atau menyusui, lansia renta, orang sakit, dan lainnya.

Sebagai gantinya, orang yang tidak berpuasa karena sejumlah sebab tertentu itu diharuskan untuk qada atau mengganti puasa di luar Ramadan. Selain dengan qada, puasa bulan Ramadan pun dapat diganti dengan fidyah, atau dengan melaksanakan keduanya.

Bagi golongan yang batal puasanya karena halangan tertentu, seperti melakukan perjalanan jauh, sakit, haid, lansia renta, dan lain sebagainya, tidak ada dosa bagi mereka sekalipun tetap harus mengganti ibadah wajib itu dengan qada atau fidyah. 

Sementara mereka yang mampu, tidak ada uzur, tetapi sengaja membatalkan puasanya, berarti telah melanggar perintah Allah SWT sehingga mendapatkan dosa sekaligus wajib melakukan qada. 

Dalil mengenai qada dan fidyah sebagai ganti puasa Ramadan ini tertuang dalam Al Quran surah Albaqarah ayat 184: 

"Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan [lalu tidak berpuasa], maka [wajib mengganti] sebanyak hari [yang ditinggalkan] pada hari-hari yang lain [di luar Ramadan]. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin," (QS. Al-Baqarah [2]: 184).

Niat Qadha Puasa Ramadan dan Tata Caranya

Bagi orang yang hendak mengganti puasa Ramadan, menurut mazhab Imam Syafi’i, wajib hukumnya membaca niat qada pada malam hari sebelum puasa di keesokan harinya. Lafal niat qada sendiri berbeda dengan niat puasa Ramadan.  Berikut lafal niat qada puasa Ramadan:

Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhÄ’I fardhi syahri RamadhÄna lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: "Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadan esok hari karena Allah SWT."

Mengutip buku Pintar Puasa Wajib dan Sunnah karya Nur Solikhin, ada dua pendapat terkait pelaksanaan puasa qada. Pertama, jika hari puasa yang ditinggalkan berurutan, maka disarankan menggantinya dengan berurutan pula. Pendapat ini mengatakan qada merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan sehingga wajib dilakukan secara sepadan.

Kedua, pelaksanaan puasa qada tidak harus dilakukan secara berurutan. Pendapat ini menguatkan pernyataan tentang tidak adanya dalil yang menegaskan qada puasa wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan.

Dalam sebuah hadits nabi SAW menjelaskan bahwa qadha boleh dilakukan secara terpisah (tidak berurutan). Dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabda:

"Qada puasa Ramadhan itu jika ia berkehendak maka boleh melakukannya secara terpisah. Dan, jika ia berkehendak maka ia boleh juga melakukan secara berurutan." (HR. Daruquthni)

Dari kedua pendapat di atas, seseorang boleh memilih salah satu dari keduanya. Baik secara berurutan maupun tidak berurutan. 

Adapun jika jumlah puasa yang harus diganti tidak diketahui (karena sudah lama), maka lebih baik menentukan jumlah dengan lebih maksimum. Sebagai contoh, ada keraguan antara hutang 5 atau 6 hari, maka yang harus dipilih adalah yang 6 hari.

Waktu untuk menjalankan puasa qadha adalah antara bulan Syawal hingga datangnya bulan Ramadan berikutnya. Beberapa pendapat mengatakan, pengganti puasa Ramadan lebih baik dilakukan sesegera mungkin. Namun, menjalankannya di waktu-waktu yang dirasa bisa saja juga diperbolehkan.

M. RIZQI AKBAR
Baca: Tips Nyaman Puasa Ramadan untuk Penderita GERD dari FKUI