Kolom Ramadan: Merayakan Lebaran

Ilustrasi lebaran. MANAN VATSYAYANA/Getty Images
Ilustrasi lebaran. MANAN VATSYAYANA/Getty Images

Singkat kata, Idulfitri merupakan ekspresi suka cita karena telah dapat mengakhiri kewajiban puasa. Syukur atas ketaatan yang telah dapat dilakukan itu juga diaktualisasikan dengan berbagi makanan melaui zakat, yang telah ditentukan standarnya, berupa makanan pokok sebagaimana yang dikonsumsi warga setempat. Umumnya di masyarakat kita dengan menggunakan beras.

Semangatnya, tak lain, agar di hari raya ini tak ada satupun warga masyarakat yang kekurangan makanan. Itulah zakat al-fithri, yang kemudian lazim disebut zakat fitrah, bahkan bernilai wajib dan harus dilakukan setiap muslim sebelum pelaksanaan shalat idulfitri itu sendiri.

Kembali Suci

Lalu, kenapa selama ini Idulfitri dimaknai kembali menjadi suci? Tak salah juga sebenarnya jika hal ini dimaksudkan sebagai doa. Bahwa kita senantiasa berharap, ibadah puasa dan amalan lainnya yang kita lakukan selama bulan Ramadhan, akan menghapus dosa-dosa kita. Tentu, ketika itu semua dilandasi keimanan dan penuh pengharapan ridha-Nya, sebagaimana sabda Nabi Saw:

"Barangsiapa berpuasa (di bulan) Ramadhan dengan dasar iman [mnan] dan penuh pengharapan [wa-htisban], maka Allah Swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu." (Hr. Imam Bukhari dan Muslim). Dalam redaksi yang lain juga ditegaskan bahwa ampunan itu akan dilimpahkan kepada mereka yang melaksanakan shalat malam selama bulan Ramadhan.

Kembali suci berarti bersih dari segala noda dan dosa yang telah dilakukan sebelumnya, atau yang telah berlalu. Bahkan Nabi Saw sendiri yang menegaskannya. Inilah jaminan bagi mereka yang menjalankan ketaatan.

Di situlah mesti dipahami bahwa kembali suci bukanlah konsep yang berdiri sendiri, apalagi merupakan arti dari Idulfitri. Jika Idulfitri diartikan kembali menjadi suci; dengan demikian, apakah Iduladha akan kita artikan kembali menjadi hewan kurban (sembelihan)? Adha memang berarti hewan kurban atau sembelihan.

Namun kalau kembali suci itu disebut capaian, maka ia akan diraih setelah melalui proses panjang selama bulan Ramadhan. Di sinilah keistimewaannya. Ramadhan yang juga disebut syahru al-maghfirah atau bulan pengampunan memang dipersembahkan Tuhan untuk hamba-Nya yang beriman.

Dijelaskan tentang lima karunia istimewa bagi umat Islam di bulan Ramadhan, salah satunya, bahwa pada malam terakhir bulan tersebut mereka akan diampuni. Ketika Nabi Saw ditanya sahabat, apakah malam pengampunan itu lailatulqadar? Terhadap pertanyaan itu, Nabi bersabda: "Bukan, tetapi seorang pekerja akan diberikan upahnya jika telah selesai melakukan pekerjaannya." (Hr. Imam Ahmad; Imam Baihaqi).

Artinya, selain lailatulqadar yang sangat diistimewakan itu, hingga malam terakhir Ramadhan pun Allah Swt masih memberikan karunia tak terhingga, yaitu ampunan untuk hamba-Nya. Inilah, dengan kata lain, upah dari pekerjaan (kataatan) yang telah dilakukan.

Maka, "celakalah orang yang mendapatkan bulan Ramadhan tetapi ia tidak mendapatkan ampunan." (Hadits Nabi). Sekali lagi, tentu ampunan itu dilimpahkan kepada mereka yang menjalankan ketaatan dengan baik sampai akhir Ramadhan.

Malam Takbiran

Bahkan, di malam hari raya --baik Idulfitri maupun Iduladha-- juga terdapat keistimewaannya. Sebagaimana disebutkan Syekh Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi (w.1277 M), populer dengan Imam Nawawi, mengutip riwayat Imam Syafi'i dan Ibnu Majah, dari Hadits Nabi yang menjelaskan bahwa barangsiapa yang menghidupkan malam dua hari raya, maka hatinya tidak akan mati pada hari semua hati (manusia) mati.

Meskipun diakui sendiri oleh Imam Nawawi bahwa hadits tersebut dha'if (lemah), namun untuk keutamaan beramal dapatlah dijadikan landasan untuk mengerjakan amalan yang baik dan atau mendorong kebaikan. Apalagi memang disyariatkan juga, sebagaimana firman-Nya:

".... Hendaklah kamu mencukupkan bilangan (puasa)-nya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu." (Qs.2:185).

Menghidupkan malam hari raya dengan mengagungkan-Nya itulah yang kita kenal selama ini dengan takbiran. Dzikir dengan menggemakan takbir, tahlil dan tahmid dilakukan pada akhir Ramadhan, setelah berpuasa satu bulan lamanya, bahkan telah menjadi bagian penting dari tradisi perayaan lebaran.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. L ilha illa-Allahu wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLhi al-Hamd.

Takbiran bisa dilakukan sendiri di rumah atau berjamaah di madjid. Bahkan selama ini juga dilakukan secara besar-besaran di jalanan. Kita menyebutnya takbiran keliling. Semua itu dapat dipahami, merupakan ekspresi kebahagiaan, sebagai rasa syukur yang mendalam karena telah dapat menyelesaikan ibadah Ramadhan.

Hanya karena situasi pandemi Covid-19 takbiran secara massal, apalagi keliling di jalanan, sudah dua kali lebaran ini ditiadakan. Sebelum-sebelumnya, malam takbiran bahkan menjadi acara resmi kenegaraan, melibatkan jajaran pemerintahan sampai di tingkat daerah, sejak zaman orde baru.