Kolom Ramadan: Merayakan Lebaran

Ilustrasi lebaran. MANAN VATSYAYANA/Getty Images
Ilustrasi lebaran. MANAN VATSYAYANA/Getty Images

TEMPO.CO, Jakarta - Tak lama lagi puasa usai, kita akan memasuki Idul fitri 1 Syawal atau lebaran, pada 13 Mei yang akan datang. Sudah dua kali ini kita merayakannya di tengah situasi pandemi Covid-19. Jika sebelumya kita merayakan dengan penuh kebahagiaan, mungkin saat ini sedikit diliputi keprihatinan.

Kita tak bisa leluasa berkumpul dengan keluarga, juga bertemu sanak saudara, misalnya, karena berbagai aturan dan pembatasan yang diberlakukan. Terlebih mereka yang tak berkesempatan mudik lebaran.

Maka, selain terus berikhtiar lahir batin agar tetap sehat dan musibah ini juga segera berakhir, ada baiknya kita luangkan waktu sejenak untuk menghayati kembali makna lebaran yang kita rayakan.

Arti Idul fitri

Perayaan ini telah menjadi tradisi penting yang "dinikmati" seluruh warga masyarakat. Tidak hanya umat Islam. Bahkan, Idul fitri telah menjadi "industri" ekonomi yang sangat menggiurkan dan menguntungkan selama ini. Berapa banyak kreatifitas usaha bisa tercipta karenanya, terutama bisnis pakaian dan aneka makanan. Lihat saja bagaimana ramainya pasar dan pusat perbelanjaan setiap kali mendekati Idul fitri.

Tradisi yang kemudian disebut lebaran itu juga menjadi fenomena budaya yang unik, apalagi untuk masyarakat Indonesia. Lebaran identik dengan luapan suka cita dan kegembiraan. Dulu, ketika masih belajar puasa hingga pada usia remaja, saya selalu menunggu momen kebahagiaan untuk merayakan lebaran. Tentu karena baju baru, juga berlimpahnya aneka hidangan makanan, yang selalu ditunggu. Yang pasti, karena sudah tak puasa lagi.

Lebaran memang ditandai dengan telah berakhirnya ibadah puasa. Terambil dari kata dasar "lebar" (bahasa Jawa) yang berarti telah selesai, ditambah akhiran "an" yang kemudian menjadi istilah populer untuk menyebut peristiwa penting, puncak dari bulan Ramadhan. Di sini, tak hanya kewajiban puasa itu yang telah tiada, bahkan memang diharamkan juga untuk melakukannya.

Begitulah Idulfitri mesti dipahami. Dari akar kata "ifthar" (sighat mashdar dari afthara-yufthiru), fitri berarti berbuka. Disebut demikian, karena inilah hari di mana umat Islam merayakannya dengan tidak lagi berpuasa, setelah satu bulan penuh melaksanakan ibadah wajib tersebut.

"Hari mulai berpuasa (1 Ramadan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (1 Syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka." Demikian Sabda Nabi Muhammad Saw (Hr. Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud, dari Abu Hurairah). Bahkan, tak sekalipun Nabi Saw pergi untuk shalat idulfitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya (Hr. Imam Bukhari).

Adapun kata "id" yang berarti hari raya juga disebutkan secara khusus, sebagaimana firman-Nya, yang menjelaskan ihwal doa yang dipanjatkan Isa al-Masih As:

"Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya [dan] bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkau-lah sebaik-baik pemberi rezeki." (QS.5:114).