Tarawih Pertama di Lokasi Korban Gempa Malang: Musala Itu Kini Tak Lagi Penuh

Seorang warga berjalan melintasi puing reruntuhan sebuah rumah untuk menuju mushala Al Mutaqin, Majangtengah, Malang, Jawa Timur, Senin, 12 April 2021. Warga di daerah terdampak gempa Malang tersebut menggunakan bangunan masjid dan mushala yang masih utuh untuk melaksanakan shalat tarawih pertama di bulan Ramadhan. ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Seorang warga berjalan melintasi puing reruntuhan sebuah rumah untuk menuju mushala Al Mutaqin, Majangtengah, Malang, Jawa Timur, Senin, 12 April 2021. Warga di daerah terdampak gempa Malang tersebut menggunakan bangunan masjid dan mushala yang masih utuh untuk melaksanakan shalat tarawih pertama di bulan Ramadhan. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

TEMPO.CO, Malang - Lima bocah laki-laki asyik bermain di teras Musala At-Muttaqin, salah satu musala yang menjadi korban Gempa Malang. Mereka baru saja mengikuti salat magrib berjamaah yang disertai tradisi megengan dengan cara menggelar pengajian dan berbagi makanan. Lalu mereka pulang bersama orangtua masing-masing dengan membawa bungkusan maupun kotak berisi nasi berlauk ikan dan ayam goreng, serta kudapan kue apem.

Berselang sejam, azan Isya berkumandang. Kelima bocah dan sekitar 20 puluh orang dewasa mendatangi musala yang sama. Ali Maksum, ketua dan takmir masjid setempat, mengimami salat Isya berjamaah.

Musala At-Muttaqin berada di Dusun Krajan, Desa Majangtengah, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Majangtengah merupakan salah satu desa yang terdampak parah gempa bermagnitudo 6,1 Sabtu siang, 10 April 2021.

Usai salat Isya, mereka menyambungnya dengan bertarawih 11 rakaat di malam 1 Ramadan 1442 Hijriah. “Insya Allah, gempa kemarin tidak sepenuhnya berpengaruh pada kegiatan salat tarawih dan salah berjamaah di sini,” kata Ali Maksum, Senin malam, 12 April 2021.

Menurut Ali, Musala At-Muttaqin dibangun dua tahun lalu. Bangunannya relatif kuat menahan guncangan gempa Sabtu kemarin, hanya ada retakan di bagian dinding, sehingga dianggap masih layak untuk dipakai melaksanakan salat berjamaah saat ramadan.

Rumah ambruk di sebelah musalah milik Slamet Riyanto. Menurut Slamet, gempa 6,1 SR kemarin merupakan gempa terbesar yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Saat ini, banyak warga mengungsi karena rumahnya rusak sehingga suasana salat tarawih di Musala At-Muttaqin jadi berbeda dari dua tahun sebelumnya.

“Biasanya, sebelum ada gempa, salat tarawih di sini selalu penuh. Sekarang kondisinya tentu tidak seperti dulu akibat gempa kemarin,” ujar Slamet.

Siang hari sebelum salat tarawih perdana digelar, kaum perempuan di Dusun Krajan giat membuat memasak di dapur umum mandiri. Mereka masih antusias membuat makanan yang akan dibagikan dalam pelaksanaan tradisi megengan alias syukuran menyambut bulan suci Ramadan.

Siti Aminah, 49 tahun, warga RT 08/RW 01, mengatakan, biasanya mereka memasak di rumah masing-masing. Makanan yang mereka buat kemudian dibawa ke masjid maupun musala. Di sana warga menggelar doa bersama sebelum dan sesudah salat tarawih.

“Kalau sekarang, kami terpaksa memasak di tenda darurat yang merangkap jadi dapur umum ini. Ini pun yang kami masak hanya nasi, mie rebus, dan telur. Warga yang kondisinya lebih aman berbagi lauk yang lebih lengkap, ada ikan dan ayam goreng, serta ditambah kue apem,” kata Siti.

Sedangkan Purnawan, anggota Karang Taruna RT 08/RW 01, menambahkan bahwa ada 97 keluarga di RT 08 dan hampir 90 persen rumah rusak. Rumah yang rusak parah antara 22 sampai 25 rumah.

Warga tidak bisa menggelar salat tarawih di Musala Busyrolatif karena bangunannya rusak berat setelah peristiwa Gempa Malang. Ruang kiblat retak terbelah dan atap genting berjatuhan. 

ABDI PURMONO

Baca: Alasan Masjid Istiqlal Persingkat Salat Tarawih Dibandingkan Kondisi Normal