Puasa Selama Pandemi COVID-19, Begini Penjelasan Pakar dan Studi

Sejumlah imigran asal Bangladesh berbuka puasa bersama saat bulan Ramadan di Singapora, 26 Mei 2019. REUTERS/Feline Lim
Sejumlah imigran asal Bangladesh berbuka puasa bersama saat bulan Ramadan di Singapora, 26 Mei 2019. REUTERS/Feline Lim

TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang puasa Ramadan yang tinggal menghitung hari, banyak Muslim di seluruh dunia bertanya-tanya apakah puasa dapat meningkatkan risiko terkena virus COVID-19 karena dehidrasi. Orang pun disarankan untuk menjaga asupan cairan agar selaput lendir tetap lembab.

William Schaffner, seorang ahli penyakit menular di Vanderbilt University, mengatakan sementara para profesional medis biasanya merekomendasikan menjaga asupan cairan ketika sakit, minum lebih banyak air tidak akan menjaga seseorang dari tertular virus.

"Kami selalu memperingatkan siapa pun yang sehat dan orang yang sakit untuk menjaga asupan cairan dan menjaga selaput lendir tetap lembab. Itu membuat seseorang merasa lebih baik; tetapi tidak ada indikasi yang jelas bahwa itu secara langsung melindungi terhadap komplikasi," ujar Dr. Schaffner sebagaimana dikutip Gulf News baru-baru ini.

Sementara dari segi sains, studi ilmiah terbaru menunjukkan bahwa puasa adalah rahasia hidup yang lebih sehat dan lebih lama. Menurut National Institute on Aging yang berbasis di Inggris, bukti dari beberapa dekade penelitian hewan dan manusia menunjukkan manfaat kesehatan yang luas dari puasa.

Lembaga ini melakukan tinjauan penelitian, yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine, yang menunjukkan ratusan penelitian pada hewan dan sejumlah uji klinis pada manusia bahwa puasa dapat meningkatkan kondisi kesehatan seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung, kanker dan gangguan neurologis.

Namun, review mengatakan masih banyak penelitian yang diperlukan untuk menentukan apakah puasa menghasilkan manfaat atau bahkan layak untuk manusia ketika dipraktikkan dalam jangka panjang, seperti selama bertahun-tahun.

Dalam Horizon Documentary berjudul 'Eat, Fast and Live Longer', Michael Mosley menetapkan bagi dirinya tujuan yang benar-benar ambisius. Dia ingin hidup lebih lama, tetap muda dan menurunkan berat badan, serta menemukan ilmu baru yang kuat di balik gagasan tentang puasa.

Mosley menguji ilmu puasa pada dirinya sendiri dengan hasil yang mengubah hidup, dia mengeksplorasi rahasia kesehatan yang baik dan umur panjang. Tidak berhenti di situ, dia melanjutkan untuk menemukan apa yang disebut puasa intermiten.

Yang menarik adalah ia menemukan efek puasa pada penuaan otak. Meskipun percobaan dilakukan pada tikus, tapi menunjukkan bahwa manusia memiliki peluang bagus untuk mengurangi penyakit otak dengan berpuasa.

GULFNEWS | NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE

Reporter: Moh. Khory Alfarizi
Editor: Erwin Prima