TEMPO.CO, Solo - Bagi para perantau, membuat masakan dari daerah asal menjadi sebuah pelepas rindu pada kampung halaman. Apalagi, jika masakan itu hanya dihadirkan sebagai menu buka puasa.
Baca juga: Vihara Dharma Bhakti Pererat Persaudaraan dengan Berbagi Takjil
Kebiasaan itu menjadi tradisi yang turun temurun bagi para pedagang permata asal Banjar, Kalimantan Selatan, yang merantau di Solo, Jawa Tengah. Mereka memiliki masakan khusus untuk berbuka puasa berupa Bubur Banjar atau Bubur Samin.
Pada masa lalu, banyak pedagang permata asal Banjar yang merantau ke Solo yang merupakan salah satu kerajaan besar. Mereka sering beristirahat di Masjid Darussalam yang berada di Kelurahan Jayengan.
Masjid tersebut terletak tidak jauh dari Keraton Kasunanan Surakarta, tepatnya sekitar satu kilometer ke arah selatan. Sebagian para pedagang permata itu lantas memilih bermukim di daerah itu, sehingga lambat laun Jayengan menjadi pemukiman para perantau asal Banjar.
Fenomena tersebut membuat Kampung Jayengan cukup kental dengan tradisi Banjar. Sebab, para pedagang itu membawa kebudayaan dari daerah asal di pemukimannya. Tradisi yang dibawa itu dilestarikan secara turun temurun.
"Salah satunya adalah tradisi berbuka dengan Bubur Banjar," kata Ketua Ta'mir Masjid Baitussalam, Muhammad Rasyidi Muhdor. Bubur tersebut dimasak bersama di masjid, lantas dibagikan untuk dinikmati sebagai menu berbuka puasa di rumah masing-masing.
Pada masa lalu, masakan yang juga sering mendapat sebutan Bubur Samin itu hanya dinikmati warga yang berasal dari Banjar dan keturunannya. Lambat laun warga lain juga menyukai masakan yang beraroma rempah itu. "Kami setiap hari memasak 50 kilogram beras untuk membuat Bubur Samin," katanya.
Beras yang dibuat bubur tersebut diolah dengan dicampur daging serta susu sapi. Penggunaan berbagai bumbu seperti kapulaga, daun seledri, daun bawang, bawang bombai, wortel dan rempah-rempah membuat aromanya cukup menggoda.
Tidak ketinggalan, mereka juga menambahkan minyak samin ke dalam masakan tersebut. Itu sebabnya, masakan yang hanya dihadirkan di Bulan Ramadan tersebut dikenal dengan sebutan bubur samin. Minyak itu menyebabkan bubur tersebut memiliki warna kecokelatan.
Setiap hari warga bergotong royong memasak Bubur Samin sejak tengah hari. Selepas Asar masakan itu sudah matang dan dibagikan kepada masyarakat yang datang dengan membawa wadah makanan seperti mangkuk hingga rantang bersusun.
Salah satu warga Serengan, Sumarni sering ikut mengantre demi mendapatkan Bubur Samin. Meski bukan keturunan dari Banjar, dia mengaku cukup cocok dengan masakan tersebut. "Rasa rempahnya cukup kuat, hangat di badan," katanya.
Saat mengantre, dia selalu membawa wadah yang cukup besar. Petugas di masjid selalu mengisi wadahnya dengan penuh. "Biar anak-anak di rumah juga kebagian," katanya.
Baca juga berita Buka Puasa lainnya di Tempo.co