Bermain Meriam Bambu Saat Ramadan

Reporter

Seorang anak menyalakan meriam bambu di lapangan Lahor, Batu, Jawa Timur, 29 Juni 2015. Meriam bambu dimanfaatkan warga sebagai penanda waktu berbuka puasa selama bulan Ramadan. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Seorang anak menyalakan meriam bambu di lapangan Lahor, Batu, Jawa Timur, 29 Juni 2015. Meriam bambu dimanfaatkan warga sebagai penanda waktu berbuka puasa selama bulan Ramadan. TEMPO/Aris Novia Hidayat

TEMPO.CO, Pangkalpinang - Sebagian anak di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, masih gemar bermain meriam bambu, permainan tradisional yang muncul pada Ramadan.

Baca juga: Ngabuburit di Masjid Al Azhom Sambil Belajar di Galeri Islam

Alfin, seorang anak Pangkalpinang, Senin, 13 Mei 2019, mengaku gemar memainkan meriam bambu itu karena sangat mengasyikkan sehingga menjadi permainan untuk mengisi waktu menjelang berbuka puasa.

"Saya senang memainkan meriam bambu, tetapi harus hati-hati karena bisa mengeluarkan percikan api dari lubang sumbu yang bisa mengenai wajah," ujarnya.

Meriam bambu merupakan permainan tradisional terbuat dari batang bambu yang diisi bahan bakar jenis minyak tanah dan potongan kain sumbu untuk bisa mengeluarkan suara keras layaknya sebuah meriam asli namun bukan sejenis senjata api.

"Cara memainkan meriam bambu ini tidak mudah karena harus dipancing dengan menggunakan ranting kayu dalam keadaan terbakar kemudian dimasukkan ke lubang sumbu yang berisi minyak dan potongan kain sebagai sumbunya," katanya.

Asri, anak yang lainnya, mengatakan permainan meriam bambu ini memang mendatangkan bunyi yang sangat keras sehingga ada sebagian warga merasa terganggu.

"Kalau dulu, orang melepaskan meriam bambu di depan rumah mereka tetapi sekarang harus dicari tempat yang sedikit sepi dari pemukiman supaya warga tidak terganggu," ujarnya.

Namun demikian, kata dia, ada juga sebagian warga malah senang melihat anak-anak memainkan meriam bambu kendati mendatangkan bunyi yang sangat keras.

"Bahkan ada sebagian warga menawarkan batang bambu dekat rumahnya yang katanya sudah tua sehingga bisa menghasilkan bunyi yang lebih keras," ujarnya.

Ia mengatakan, untuk bisa menghasilkan bunyi yang keras dan bulat tergantung dengan kualitas bambu yang digunakan.

"Kalau bambunya masih muda, bunyinya tidak begitu bagus. Bambu yang bagus itu kalau usianya sudah tua, bunyinya keras dan tidak gampang pecah. Sebagian bambu bisa pecah karena tidak kuat menahan bunyi yang keras," ujarnya. 

Baca berita Ramadan lainnya di Tempo.co

ANTARA