Dianggap Bising, Tradisi Musaharati Dilarang Polisi Israel

Reporter

Seorang anak Palestina dari Gaza bersujud dekat masjid Al Aqsa. Getty Images
Seorang anak Palestina dari Gaza bersujud dekat masjid Al Aqsa. Getty Images

TEMPO.CO, Jakarta -Sejumlah pemuda Palestina di Yerusalem yang bertugas membangunkan warga muslim untuk santap sahur, mengaku mendapat perlakukan tak adil dari aparat kepolisian Israel karena tradisi membangunkan mereka dianggap bising dan mengganggu.

Tradisi membangunkan sahur warga Palestina di Yerusalem adalah dengan cara Musaharati, yakni melantunkan dendang menggunakan bedug atau gendang. Cara ini, sudah dilakukan selama bertahun-tahun.

Menurut Mohamad Hagej, 26 tahun, seorang pelaksana tugas Musaharati, mereka mulai ditangkap dan dikenai denda sejak ada warga yang melapor ke polisi karena musaharati dianggap mengganggu ketenangan. Pengaduan ini sangat ganjil karena selama bertahun-tahun mereka tidak pernah mendapat masalah dengan polisi. Namun pada Ramadan 2018, ia mengaku telah ditahan sebanyak empat kali. Ia pun mengklaim polisi paramiliter Israel pernah menggunakan gas air mata untuk menghentikan aksi Musaharati. 

“Itu tidak benar (Musaharati mengganggu), mereka hanya ingin menghapus tradisi warga Palestina di Yerusalem,” kata Hagej.

Baca: Tradisi Jelang Puasa Pengikut Bonokeling

Tradisi Musaharati di Yerusalem pada bulan Ramadan. AP Photo

Keluhan juga disampaikan oleh Mohammed Hazizi yang telah menjadi petugas pembangun sahur lewat cara Musaharati selama tiga tahun. Hazizi bertugas di wilayah Saadiya, Kota Tua Yerusalem.

“Ada tiga warga Yahudi di wilayah kami, dan polisi mengatakan bahwa mereka mengeluh dan meminta kami tidak berisik di dekat rumah mereka,” kata Hazizi.

Hazizi mengaku diancam akan dikenai sanksi sebesar 450 shekels atau sekitar Rp. 2 juta oleh pihak keamanan apabila tetap melakukan Musaharati. Sanksi tersebut akan naik menjadi 1000 shekels jika ia melakukan aksi berikutnya. Ironisnya, selain mengancam akan menjatuhi sanksi, Hazizi pun mendapat perlakukan kasar dari aparat kepolisian.

“Mereka mulai mendorong dan memaksa saya untuk diam dan mengatakan hal-hal buruk,” kata Hazizi.

Baca: Rindu Tradisi di Kampung Betawi

Meski diancam oleh kepolisian, Hagej dan Hazizi bertekad bahwa tradisi Musaharati akan terus berlanjut sebagai bagian dari perayaan bulan Ramadan di Yerusalem. Hagej pun meyakini, tradisi ini memberi kebahagiaan kepada anak-anak, orang tua, dan seluruh warga Yerusalem.

Dikonfirmasi atas pengaduan ini, juru bicara kepolisian Israel, Micky Rosenfeld, mengatakan bahwa kesatuannya hanya merespon apabila ada keluhan dari warga soal kebisingan. Setelah keluhan dari warga mengenai kebisingan diterima, kepolisian pun bertindak sesuai hukum untuk menghentikan kebisingan tersebut.

Ia menambahkan bahwa kepolisian ingin menjaga keseimbangan antara kebebasan beribadah dan ketertiban publik, dan menganggap Musaharati mengganggu dan membahayakan kualitas hidup warga. Sedangkan soal penggunaan gas air mata, ia tidak mengetahui soal itu dan enggan berkomentar lebih lanjut.

Perselisihan biasa terjadi di kawasan Kota Tua di Yerusalem. Wilayah itu terbagi menjadi empat bagian, yakni Muslim, Yahudi, Kristiani, dan Armenia. Namun ketegangan semakin meningkat sejak banyaknya warga Yahudi yang mulai mencaplok dan bermukim di wilayah muslim.

ABC NEWS | HAARETZ | SURYO PRABANDONO